12/14/09

Balibo, Antara Persepsi dan Kontroversi

KEKECEWAAN langsung menyeruak ketika tahu bahwa "Balibo", film yang bercerita mengenai kasus kematian lima wartawan Australia di Timor Timur (Timor Leste) , dibatalkan penayangannya di Jakarta International Film Festival (Jiffest) pekan lalu. Gunting Lembaga Sensor Film (LSF) yang bertindak. Film ini dinilai tak layak untuk ditonton oleh masyarakat Indonesia.

Kontroversi melalui pro dan kontra yang saling berbalasan, lantas terlontar. Ada yang bilang, film ini dikhawatirkan akan menorehkan luka lama antara masyarakat Indonesia dan Timor Leste, hingga kekhawatiran menodai rasa nasionalisme atas nama pemutarbalikan fakta. 

Mungkin LSF lupa, sebagian masyarakat Indonesia masih suka dengan hal-hal yang bersifat kontroversial. Agenda setting dari pelarangan itu membuahkan rasa penasaran masyarakat sebagai dampak Streisand effect, yang artinya kurang lebih adalah sebuah informasi yang justru tersebar lebih luas karena adanya usaha penyensoran informasi.

Hal itu dibuktikan dengan penayangan film "Balibo" di Bandung pertama kali untuk umum di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Selasa (8/12). Ratusan penonton datang memadati aula GIM, hingga rela menonton sambil berdiri di jendela atau di belakang pintu. Karena banyaknya permintaan, penyelenggara yang dimotori oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menggelar kembali pemutaran film yang disutradarai oleh Rob Connoly itu beberapa jam kemudian.  

Padahal, festival film seperti Jiffest merupakan sebuah pertunjukan yang sama sekali tak populis seperti penayangan film reguler di pusat perbelanjaan. Mayoritas penonton datang dari kalangan penikmat film yang tidak baru menonton satu atau dua film saja. 

Di era yang (seharusnya) transparan, agaknya terkesan arogan jika sebuah lembaga mengkebiri hak masyarakat untuk mencari informasi. Walaupun jika dilihat seksama, film "Balibo" tentu tak bisa dijadikan rujukan sejarah karena metode penyampaiannya yang lebih mirip aksi hero Hollywood. Beberapa bloopers (adegan tak logis) pun beberapa kali muncul, menguatkan persepsi bahwa masyarakat tak bisa menelan mentah-mentah. 

Ya. Di balik spesial efek yang membuat terpana dan aksi yang seperti mendekati nyata, "Balibo" hanya sebuah fiksi yang dirangkai dari kepingan sejarah penuh konspirasi. Nyaris tak ada bedanya dengan ketika film Indonesia menggambarkan tentara Belanda hanya sebagai penjahat perang. Atau film perang lain yang berpihak pada salah satu kubu. 

Dengan adanya sensor LSF, masyarakat diharap bisa terus menjaga persepsi mengenai film yang "boleh" ditonton dan "tidak boleh" ditonton. Mungkin anggota LSF sedang tertidur hingga tak memotong adegan parade (maaf) bikini dalam "Air Terjun Pengantin", atau film bergenre sejenis, sehingga film seperti itu justru asyik melenggang dari satu bioskop ke bioskop lain. 

Kalangan tertentu yang berniat untuk menyaksikan "Balibo", tentu tertarik karena sebelumnya mengetahui adanya perkembangan kasus ini. Dengan adanya pelarangan demi pelarangan, lebih banyak masyarakat yang justru ingin menyaksikan walau dengan "bekal" sejarah yang minim. Bukan tak mungkin, LSF yang justru salah persepsi mengenai penonton di Indonesia.***

10/13/09

depends

owkay, so lemme postpone those line before.. about the cheesy one.. just put on in the trashcase,, i need some catarsist, and i dont care..

actually, for me birthday is only a day when i spent a whole time with lotta friends, with cheers and foods..
birthday is gather

but i hate this birthday time
coz i loose someone i can depends

ow, it sounds so cheesy, haha
but it is

you know that i never tempt to depend on someone elses
unless someone i wanna depend on so much

i never trust someone
unless someone i wanna trust so much

10/5/09

cheesy

really don't know why..

these thing are getting laid when i wrote a cheesy lines.. like this one before..

ehm, lets stop it.. and talk about another thing.. im boring.. boring.. hoahm..

9/7/09

l-o-v-e

"hadoooh, sakit.. badanku pegel2, encok.."

"hadoooh, kayak neneknenek banget sih.."

"tapi kamu sayang kan sama neneknenek ini?"

"tentu.."

god, takes too much time to realize that i know heaven must exist :P

9/6/09

way to oscars

KEMENANGAN film Bollywood "Slumdog Millionaire" di ajang Golden Globe 2009 menyisakan catatan menarik. Film yang bersetting tentang kehidupan di Mumbai, India ini, mampu mengalahkan prediksi kuat kemenangan "Revolutionary Road" dan "The Curious Case of Benjamin Button". Bagaimana bisa?

Dibesut oleh sutradara berkebangsaan Inggris yang populer lewat "Trainspotting" dan "The Beach", Danny Boyle, film ini memang terbilang istimewa. Cerita dan setting yang membumi, menampilkan wajah polos perkampungan kumuh di India.

Film adaptasi novel ini berkisah tentang seorang anak berusia 18 tahun, Jamal Malik (Dev Patel) yang sedang duduk di kursi panas "Who Wants To Be Millionaire" versi India. Jamal yang dibesarkan di jalan, terbilang beruntung. Ia bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan, untuk mendapat hadiah utama, 20 juta rupee.

Kisah satire ini berlanjut ketika Jamal kemudian ditangkap polisi karena dicurigai bertindak curang. Ia disiksa sambil dipaksa untuk mengakui perbuatannya. Namun, siapa sangka kalau pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan, justru membuka luka lama di benak Jamal.

Sepintas, gaya indie yang terlihat mempengaruhi film ini mengingatkan pada film sejenis "Juno" dan "Little Miss Sunshine" yang sudah lebih dulu disambut baik oleh pasar. Penonton diajak tertawa dengan kepolosan adegan dan gaya tutur. Sederhana, segar, dan menghibur.

Lewat "Slumdog Millionaire", Boyle seakan mengajak penonton untuk mempertanyakan kembali arti kemapanan dari sudut pandang anak terlantar. Lewat twist kisah hidup Jamal, penonton seolah diajak untuk berempati. Film yang juga dibintangi oleh Shah Rukh Khan ini, juga menyentuh sisi humanis, ketika baik disadari atau tidak, sikap sinis sudah sedemikian erat bergelayut di kalangan mapan, dengan menepikan masyarakat kelas bawah.

Simak saja dialog ketika sang pembawa acara kuis menyepelekan kemampuan Jamal saat kuis berganti iklan. Atau saat ia melontarkan sindiran, "Get along with 100 dollar bills of your life?" ketika pertanyaan sampai pada topik mengenai tokoh yang ada dalam uang 100 dollar AS. Ya, cerita polos seperti bagaimana Jamal kecil bisa mendapatkan tanda tangan sang idola, Amitabh Bachchan, juga merupakan satire yang teramat menggelitik.

Kalaupun ada satu keanehan yang mengganggu sepanjang film, barangkali adalah ketika Jamal sampai pada pertanyaan terakhir, detik-detik menentukan apakah ia akan menjadi milyuner, atau kembali ke jalan. Jamal yang buta huruf latin, tiba-tiba bisa membaca sederetan pertanyaan. Namun terlepas dari itu, "Slumdog Millionaire" tetap segar dan menyenangkan.

Dan memang, nuansa segar dan menyenangkan tersebut belum bisa ditandingi oleh besutan sutradara David Fincher, "The Curious Case of Benjamin Button". Walaupun sebenarnya, "The Curious Case of Benjamin Button" ini memiliki lebih dari harapan penonton terhadap sebuah film berkualitas.

Plot yang diadaptasi dari sebuah cerita pendek karya F. Scott Fitzgerald ini, bercerita tentang seorang bayi yang dilahirkan dengan wajah renta. Namun seiring berjalannya waktu, ia berangsur-angsur menjadi muda. Benjamin (Brad Pitt), anak tersebut, mengalami kebalikan pertumbuhan orang normal.

Naskah film ini sendiri, dikerjakan oleh Eric Youth, yang pernah menggarap "Forrest Gump". Sedangkan deretan pemain sudah terkesan "sangat aman". Sebut saja nama seperti Brad Pitt, Cate Blanchett, hingga Tilda Swinton yang menjadi jaminan.

Menggunakan teknik animasi motion capture canggih Contour System (CS), Fincher mampu menyulap metamorfosis wajah Pitt. Teknik ini dilakukan dengan cara mengambil wajah Pitt dari segala sudut pandang dan ekspresi, mengolahnya sesuai kebutuhan adegan, dan menempelkan wajah hasil kreasi tersebut di tubuh Pitt. Hasilnya luar biasa, akting Pitt tetap bisa dinikmati walau ia berwajah remaja, atau renta sekalipun.

Keindahan film ini memang mengangkat memori terhadap film sejenis "Forrest Gump", elegan dan menarik. Sayangnya, hal tersebut masih belum mampu menandingi gaya "indie" yang diusung Boyle dalam "Slumdog Millionaire". Terlebih, ending film yang mudah ditebak dalam "The Curious Case of Benjamin Button", kurang memicu rasa penasaran penonton.

Sedangkan "Revolutionary Road" yang kembali mempertemukan pasangan emas "Titanic", Leonardo Di Caprio dan Kate Winslet sebagai kekasih, tampaknya harus kalah pamor. Padahal, film ini sekaligus menjadi pencapaian akting Di Caprio-Winslet yang nyaris sempurna.

Film dengan setting yang setia terhadap novel karya Richard Yates ini, bercerita tentang konflik ketidakcocokan dan ketidakpuasan dalam rumah tangga. Cinta dan toleransi, toh masih bisa terkalahkan ketika idealisme mengatakan lain. Ego dan ambisi April (Kate Winslet) dan Frank Wheeler (Leonardo Dicaprio), menciptakan pertengkaran demi pertengkaran yang menjadi pukulan telak kehidupan rumah tangga.

Nafas drama yang kental mewarnai film berdurasi 119 menit ini, juga mengisahkan cerita yang membumi. Namun, tak terlalu banyak kejutan yang mampu ditawarkan. Pamor pertautan emosi Di Caprio dan Winslet yang mengagumkan, tetap sulit diimbangi oleh kepolosan wajah Dev Patel yang berperan sebagai Jamal dalam "Slumdog Millionaire".

Dan ya, kualitas prima sebuah film memang bisa diharapkan dari film mapan seperti “The Curious Case of Benjamin Button” dan “Revolutionary Road”. Namun, apapun bisa terjadi. Lewat kemenangan “Slumdog Millionaire” dalam ajang pemanasan Oscar ini, elegansi dan kemapanan kualiatas rupanya belum menjadi jaminan. Justru film berbudget rendah dan plot polos nan membumi, bisa mencuat ke permukaan. Gejala apakah ini? ***

seven pounds: 7 way to shattered mine..

"The first time I ever saw a box jellyfish, I was twelve. Our father took us to the Monterey Bay Aquarium. I never forgot what he said... That it was the most deadly creature on earth. To me it was just the most beautiful thing I'd ever seen"

BEN Thomas, yang saat itu berusia 12 tahun, berdiri terpaku di depan sebuah akuarium besar bersama ayah dan adiknya. Matanya menatap penuh minat. Mulutnya setengah menganga. Kedua tangan ia tempelkan pada dinding akuarium yang berisi beberapa ekor ubur-ubur. Ia tak bisa bicara saat itu. Benaknya terlalu dipenuhi kekaguman terhadap ubur-ubur, yang baru pertama kali itu ia lihat.

Siapa sangka, kejadian itu mengilhami rangkaian kejadian lain bagi masa depan Ben dalam "Seven Pounds". Di masa depan, Ben (diperankan oleh Will Smith), adalah seorang penagih pajak gadungan. Ia menggunakan nama lembaga IRS (Internal Revenue Service), untuk menjalankan rencananya.

Tiga puluh menit pertama, penonton hanya dibuat menyaksikan kegelisahan dan sosok Ben yang misterius. Potongan adegan demi adegan, ditambah kilasan adegan di masa lalu, menjadi suguhan yang tak jarang membuat heran. Siapa Ben? Apa yang sedang dilakukannya?
Ia kerap mendatangi rumah sakit. Berbuat "aneh" terhadap beberapa orang. Bahkan orang yang tidak dikenalnya. Namun ada beberapa hal yang dilakukannya, dan tidak dilakukan orang lain.

"In seven days, God created the world. And in seven seconds, I shattered mine". Ucapan Ben tersebut setidaknya menjelaskan beberapa hal. Ia tak suka kejadian yang menimpanya. Nyawa tunangannya terenggut dalam sebuah kecelakaan tragis. Hanya karena ia lalai menyetir.
Tujuh detik yang mengubah segalanya. Dari seorang pria yang punya semuanya, menjadi seseorang yang tak berarti. Begitu ia memandang dirinya sekarang. Semua yang ia punya, tak ada artinya lagi untuk dirinya sendiri.

Namun cerita ini tak hanya sampai di situ. Ia ingin menjadikan dirinya berguna untuk orang lain. Klise memang. Tapi begitulah. Ben mulai mendekati tujuh orang yang tidak dikenalnya secara personal. Pemilihan random itu, setidaknya memiliki kesamaan satu sama lain. Orang tersebut membutuhkan pertolongan, tak punya uang, namun terlalu enggan untuk meminta bantuan.

Ia mendekati Ezra Turner (Woody Harrelson). Pianis tuna netra yang juga bekerja sebagai customer service online di toko daging. Ben mendamprat Ezra habis-habisan, dengan alasan dibuat-buat. Tapi kemudian ia menguntit Ezra. Mendengarkan permainan piano Ezra di sebuah pusat keramaian yang sama sekali mengacuhkannya, lalu menghampirinya.

Ada juga Connie Tepos (Elpidia Carrillo), ibu dua anak yang mengalami kekerasan fisik dari pacarnya. Namun ia tak bisa berkutik, karena tak punya pilihan.

Lalu ia juga mendekati Emily Posa (Rosario Dawson), seorang perempuan yang redup karena penyakit jantung bawaan. Emily yang memandang hidup sama redup dengan kemungkinannya untuk normal, lantas heran. Ia bertanya kepada Ben. "Why do I get the feeling you're doing me a really big favor?"

Sosok Ben yang diperankan secara dramatis oleh Will Smith, memang menyimpan pesona tersendiri. Mata yang sayu dan senyum yang tulus, membuat Smith terlihat depresif. Cocok seperti apa yang diinginkan karakter Ben. Fasih seperti apa yang dilakukannya dalam "Pursuit of Happyness".

Sutradara Gabrielle Muccino juga paham benar, bagaimana menampilkan kisah drama tragis yang sekaligus menyentuh. Seperti apa yang dilakukannya bersama Smith, dalam "Pursuit of Happuness". Namun kali ini, ia menyusupkan aksen misteri angka tujuh. Angka tujuh yang menjadi jiwa.

Karakter Ben yang ditampilkan juga bukan tanpa cela. Kendati digambarkan sebagai pria baik hati yang bisa melakukan apa saja untuk menolong orang lain, ia toh tetap seorang pria biasa. Yang mendorong pria lain ke tembok untuk menggertak, atau bahkan selalu menjawab ketus terhadap pertanyaan penjaga motel.

Lalu, kisah apa yang sebenarnya ingin dituturkan oleh "Seven Pounds" lewat kontinuitas angka tujuh? Film ini mampu memuaskan penikmat drama yang haus akan jawaban atas keraguan di sepanjang durasinya. ***

==
Genre: Drama
Durasi: 123 Menit
Sutradara: Gabriele Muccino
Produser: Todd Black, Will Smith, Jason Blumenthal
Pemain: Will Smith, Rosario Dawson, Woody Harrelson, Michael Ealy, Barry Pepper

film, 2008 - 2009

HARAPAN terhadap peningkatan kualitas film lokal, seakan tumbuh bersama perkembangan jumlah film -yang dapat dikatakan- bertema alternatif. Di satu aspek, memang tak terelakkan ketika 2008 lalu, masih banyak genre seperti komedi seks dan horor yang muncul dalam perfilman lokal, menimbulkan stigma kondisi yang jalan di tempat. Namun di sisi lain, mulai timbul secercah harapan, mengenai keberagaman tema film yang menghibur, sekaligus mencerdaskan.

Di kuartal pertama 2009, tema dunia perfilman lokal terbilang menjanjikan. Sedikitnya judul seperti "Under The Tree" (Garin Nugroho), "Perempuan Berkalung Sorban" (Hanung Bramantyo), "Asmara Dua Diana" (Awi Suryadi), "Pintu Terlarang" (Joko Anwar), "Kambing Jantan The Movie" (Rudi Soedjarwo) dan "Romeo*Juliet" (Andi Bachtiar Yusuf) hampir bisa dipastikan keberadaannya di bioskop tanah air.

Film "Under The Tree" sendiri sebelum dilempar ke pasaran secara reguler hari ini, Rabu (7/12) sudah melenggang mulus dalam kancah festival, dengan menyabet berbagai nominasi. Tentunya, hal tersebut menaikkan pamor "Under The Tree", jauh sebelum diputar di hadapan publik lokal.

Pada 2008 lalu, film yang disebut-sebut banyak menggunakan pendekatan realis magis itu masuk dalam nominasi Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) ke-21. Selain itu, film produksi SET film ini juga membawa pulang 2 piala FFI 2008, dari 9 nominasi yang didapat.
Sineas yang juga merupakan salah satu pendiri SET film bersama Garin Nugroho, Arturo GP, ketika dihubungi "PR" Senin (5/12) malam, mengatakan bahwa keberagaman tema, menjadi satu gejala kejenuhan penonton.

"Ya, kejenuhan terhadap tema-tema yang berkembang di 2008, seperti tema seks remaja, bahkan religi," kata Arturo. Indikasinya, lanjut Arturo, adalah dengan mulai berkurangnya tema semacam itu di penghujung 2008.

"Penonton dengan tema itu berkurang, maka produksinya juga berkurang. Biasanya kan produser mengikuti pasar. Jadi semoga tema-tema alternatif yang berkembang sekarang, bisa diikuti produser lain," kata Arturo. Sedangkan tema yang banyak berkembang pada 2008, menurut Arturo lebih disebabkan oleh konsekuensi dari sebuah industri film. Lebih tepatnya, pengulangan periode.

"Sejarah memang selalu berulang. Dalam dunia perfilman Indonesia, di tahun 80an kan sempat booming jenis seperti komedi seks dan horor. Sebenarnya itu hanya penggampangan dari produser untuk memilih cerita yang biasanya laku di pasaran, soalnya tidak gambling. Itu problem film 80-an, dan berulang sekarang," ucap Arturo.

Film lain produksi SET Films yang diprediksi mendulang sukses, menurut Arturo, adalah "Generasi Biru" yang bercerita mengenai perjalanan hidup kelompok musik Slank. Seperti "Kantata Takwa" yang bercerita tentang perjalanan Kantata Takwa, atau bahkan "Shine A Light" milik grup legendaris Rolling Stones, "Generasi Biru" mencoba peruntungan lewat ranah dokumenter. Kali ini melalui kolaborasi sutradara Garin Nugroho-John De Rantau.

Berbeda sentuhan dengan dokumenter, film lokal lain yang sudah ditunggu adalah "Kambing Jantan The Movie". Film komedi yang merupakan adaptasi dari buku laris milik Raditya Dika ini, rencananya akan diantarkan kepada penikmat film lokal pada Februari 2009.

Film adaptasi dari buku dan film daur ulang juga mendapat porsi pada 2009. Misalnya sekuel "Sang Pemimpi", yang ingin menyusul kesuksesan film terdahulunya di 2008, "Laskar Pelangi", rencananya akan bisa dinikmati pada akhir 2009. Ada juga "Catatan Si Boy", yang pernah booming pada dekade 80-90an, rencananya akan ditayangkan 2009 ini.

Film yang disutradarai oleh John De Rantau ini, masih melibatkan beberapa pemeran asli. Seperti Only Alexander, Didi Petet, Btari Karlinda, Meriam Bellina. Sedangkan Ario Bayu dan Carrisa Putri dipilih sebagai generasi baru yang ikut mewarnai film.

Selain itu, layar lebar garapan sutradara muda Awi Suryadi bertajuk "Asmara Dua Diana" akan diluncurkan dalam waktu dekat. Film dengan ide menarik ini, memasang Jamie Aditya, Luna Maya, dan Aura Kasih sebagai jajaran pemain utama.

Jika dilihat dari sinopsis yang berkembang, Awi Suryadi yang sebelumnya menghasilkan karya seperti "Claudia/Jasmine" (2008) dan "Gue Kapok Jatuh Cinta" (2005) ini seperti ingin memberikan satire terhadap zona kemapanan hidup. Lugas dan menghibur.

Dan yang paling ditunggu, barangkali adalah karya sutradara Joko Anwar, "Pintu Terlarang", yang diadaptasi dari novel thriller milik Sekar Ayu Asmara. Dalam film yang akan beredar pada 22 Januari mendatang ini, Joko dengan kental kembali memberikan aksen noir. Mulai dari nuansa gambar, hingga produksi scoring dan lagu soundtrack.

Kualitas film besutan Joko, memang selalu layak ditunggu. Setelah sebelumnya menggebrak lewat "Kala" yang pernah masuk dalam daftar film-film terbaik dunia di tahun 2007 versi majalah Sight & Sound, Inggris, kali ini Joko kembali mencoba peruntungan. Bahkan skenario yang dibuatnya bersama Mouly Surya dalam "Fiksi", berhasil menyabet penghargaan film terbaik FFI 2008.

"Semoga dengan berkembangnya tema dalam perfilman lokal, diikuti dengan kualitas tema film itu sendiri," ujar Mouly, ketika dihubungi "PR", Minggu (4/12).

Bicara tentang film di 2009, tentu membuat sutradara terbaik versi FFI 2008 ini bersemangat. "Sekarang industri film di Indonesia bisa diibaratkan seperti bayi. Semakin lama grafik pertumbuhannya semakin naik, walau perlahan sekalipun. Maka butuh bantuan semua pihak. Misalnya, penonton sebaiknya menonton film berkualitas saja, agar sineas juga memproduksi film yang semakin berkualitas," kata Mouly menjelaskan.

Namun Mouly memprediksi, bahwa pada 2009, film bertemakan drama keluarga, anak-anak, dan komedi akan semakin banyak diproduksi. "Suspense juga masih ada, tapi sedikit. Kalau komedi seks dan horor pasti masih ada, tapi jumlahnya akan berkurang drastis dibanding tahun lalu," kata Mouly.

Prediksi Mouly diiyakan Arturo. "Setuju kalau film anak-anak banyak diproduksi," ujar Arturo. Arturo juga mengatakan, dalam waktu dekat rumah produksinya akan melepas beberapa judul yang saat ini tak terlalu banyak disentuh, seperti olahraga.

"Kita yang jelas ingin variatif, soalnya kalau cuma seperti ini saja, akan memukul kondisi perfilman dengan sendirinya. Karena lama-kelamaan, penonton tidak percaya lagi dengan kualitas perfilman lokal," kata sutradara yang kerap merangkap sebagai editor film ini. ***

2/9/09

Napak Tilas ABBA Lewat Mamma Mia!

Napak Tilas ABBA Lewat "Mamma Mia!"

I have a dream/ A song to sing/ To help me cope with anything..

UNTUK anda pecinta grup musik legendaris ABBA, pasti tahu benar lirik tersebut. Lirik yang merupakan penggalan dari lagu "I Have a Dream", membawa penonton dalam kisah petualangan romantis seorang ibu dan anak perempuan. Setelah munculnya film “Accross The Universe” yang menjawab keinginan pecinta The Beattless, “Mamma Mia!” yang kini menunjukkan tajinya.

Tak hanya itu, lewat film berdurasi 108 menit ini, penonton diajak untuk relaks dan bernostalgia menyanyikan hits milik ABBA. Judul film yang diambil pun eksentrik, "Mamma Mia!", salah satu lagu ABBA yang semakin melambungkan nama mereka.

Sebenarnya, agak disayangkan ketika publik Bandung baru bisa menyaksikan film ini di jaringan bioskop satu minggu belakangan. Padahal, di Amerika sendiri, waktu rilis pada Juli 2008. Sedangkan di kota lain seperti Jakarta dan beberapa kota lain, film ini diputar dalam kurun waktu Oktober-November 2008.

Anyhow, tak ada masalah. Kendati demikian, film ini memang layak ditunggu --dan disaksikan tentunya. Tak perlu mengerutkan kening. Cukup duduk santai, anda sudah bisa menikmati sajian musikal "Mamma Mia!". 

Tak banyak memang film musikal yang mampu menjaring loyalitas penonton untuk datang dan menyaksikan. Alur yang lambat, cerita yang terkadang tak logis, dan scene berlebihan terkadang menjadi pengganjal. Namun tak demikian halnya dengan "Mamma Mia!". Langkah pertama untuk menjadikan film ini semacam "tribute to ABBA" sudah menjadi strategi pamungkas untuk menjaring massa. 

Siapa yang tak kenal ABBA, lagipula? Grup asal Swedia ini, digaungi oleh Benny Anderson, Bjorn Ulvaeus, Anni-Frid Lyngstad, dan Agnetha Faltskog. Singkatan inisial nama depan mereka menguntai ejaan "A.B.B.A". Pop hits mereka bercokol di anak tangga teratas radio-radio di Eropa dan Amerika Serikat dalam kurun waktu 70-80'an.

“Mamma Mia!” sendiri dimeriahkan dengan 22 lagu ABBA yang dinyanyikan kembali dengan baik oleh pemerannya. Seperti "Dancing Queen", "Money, Money, Money", "Super Trouper", dan "I Do, I Do, I Do, I Do, I Do" yang akan kembali merebut hati pecinta ABBA.

Pemasangan nama beken seperti Meryl Streep, Pierce Brosnan, dan Colin Firth, menjadi jaminan tersendiri. Belum lagi setting pulau Kalokairi yang eksotis dan luar biasa indah. Tak heran jika kemudian film ini meraup pendapatan di luar dugaan. 

Seperti dilansir oleh Official UK Charts Company, "Mamma Mia! versi DVD terjual sampai 1,7 juta keping pada hari pertamanya. Jumlah tersebut mengalahkan "Titanic" yang berhasil menjual 1,2 juta keping. 

Jika dilihat sepintas, film ini sederhana. Namun jika diperhatikan, film ini sarat pesan. Yang paling kentara, perasaan seorang anak yang tumbuh tanpa mengetahui keberadaan sang ayah. Atau himbauan kepada orang tua untuk tak terlalu membatasi dunia anaknya. Bahkan ketika rasa sakit hari seseorang kemudian bisa membawanya ke tempat lain. One thing leads to another.

Kisah "Mamma Mia!" berawal dari keinginan seorang anak, Sophie (Amanda Seyfried) yang punya satu impian untuk hari pernikahannya. Ia ingin ditemani sang ayah. Sayangnya, selama hidupnya ia tak pernah mengenal sosok ayahnya. Hingga kemudian ia menemukan buku harian sang ibu, Donna Sheridan (Maryl Streep). 

Dari buku itu, ia mengetahui bahwa ada tiga orang yang kemungkinan menjadi ayah biologisnya. Mereka adalah Sam Carmichael (Pierce Brosnan), Harry Bright (Collin Firtf), dan Bill Anderson (Stellan Skarsgard). Tentunya kedatangan mereka membuat suatu kekacauan tersendiri. Terutama di benak Donna, setelah melewati 20 tahun. Ia bahkan harus menyembunyikan kegelisahan dari dua sahabatnya, Rosie (Julie Walters) dan Tanya (Christine Baranski). 


Chiquitita tell me the truth/ I'm a shoulder you can cry on/ Your best friend /I'm the one you must rely on..

Ketika bertemu mereka bertiga secara tidak sengaja, Donna pun bingung bukan kepalang. Itu seperti membuka luka lama yang sudah dibebat paksa. Namun di sisi lain, ia tidak ingin mengacaukan pernikahan putrinya.

Yes, I've been brokenhearted/ Blue since the day we parted/Why, why did I ever let you go?/Mamma mia.. Now I really know/My my, I could never let you go..

Apakah pada akhirnya Sophie bisa mengetahui jati diri ayahnya? Dan pria mana yang Donna pilih setelah 20 tahun memendam perasaan? Temukan jawabannya disini. Karena usaha Sophie memang patut diacungi jempol. 

If you see the wonder of a fairy tale/ You can take the future even if you fail.. ***

==
Genre: Drama musikal
Durasi: 108 menit
Sutradara: Phyllida Lloyd
Skenario: Catherine Johnson
Pemain: Meryl Streep, Amanda Seyfried, Pierce Brosnan, Collin Firth, Stellan Skarsgard, Julie Walters, Christine Baranski

Pegulat yang Tak Lagi Liat

KALAU ada alasan kuat yang mendorong untuk menyaksikan film "The Wrestler", salah satunya adalah faktor penampilan aktor gaek Mickey Rourke di dalamnya.

Setelah lama menghilang dari belantara perfilman "laku" Holywood, Rourke langsung menggebrak dengan aktingnya dalam "The Wrestler", yang kemudian membuatnya diganjar predikat aktor terbaik Golden Globe 2009. Tak hanya itu, Rourke tampaknya memang memesona banyak pasang mata. Hal itu terbukti dari nominasi yang ia peroleh dalam Academy Award 2009, yang lagi-lagi dalam kategori aktor terbaik.

Dalam "The Wrestler", Rourke berperan sebagai Randy "Ram" Robinson, seorang pegulat profesional yang harus meletakkan karirnya. Di pembuka film, penonton disuguhi oleh kliping tentang kejayaan Ram.

Setting dengan cepat berpindah ke 20 tahun sesudahnya. Di sebuah kursi, Ram terduduk. Ia meratap sambil terbatuk, karirnya tak secemerlang dulu. Dengan semakin menurunnya kemampuan fisik dan motorik yang melanda, ia tak lagi dianggap menguntungkan bagi promotornya, Lenny (Mark Margolis).

Ram yang sudah mulai tua kemudian mencoba untuk melakoni beberapa pekerjaan lain, seperti tukang angkut barang. Sesekali, ia masih masih bertarung secara liar. Beberapa trik sempat dilakoninya. Seperti menyelipkan silet di antara bebatan pelindung tungkai tangannya.

Selain untuk mendapatkan uang, Ram bertarung sebagai nostalgia kecintaannya terhadap dunia bertarung. Hingga pada suatu saat, ia roboh di ruang ganti. Ram masuk rumah sakit. Oleh dokter, ia divonis memiliki penyakit jantung, dan dilarang keras bertarung dengan cara apapun.

Oleh Cassidy (Marisa Tomei), teman dekatnya, Ram disarankan untuk mencari pekerjaan "aman". Lebih daripada itu, Ram disarankan untuk lebih mendekatkan diri dengan keluarga. Sebenarnya, Ram memiliki seorang putri. Namanya Stephanie (Evan Rachel Wood).

Stephanie yang sejak kecil ditelantarkan Ram, tentu tak mudah menerima kehadiran ayahnya. Di sini lah letak perjuangan Ram sebagai seorang ayah.

"The Wrestler" jelas menggambarkan secara gamblang mengenai sisi humanis kehidupan pegulat. Proses post power syndrome yang menggelayut dalam diri Ram, dan pendekatan diri dengan sang putri yang selama ini ditinggalkan, menjadi drama yang mewarnai keseluruhan film.

Selain itu, kehidupan malam yang kerap dijalani Ram juga menjadi bumbu penyedap. Adegan kekerasan menjadi pengiring. Di sini, tak ada batas yang jelas antara seni dan crime dalam gulat.

Tak ada yang istimewa dalam sinematografi. Pun scoring yang dimainkan. Hanya ada drama berbalut kisah Ram, yang menjadi nilai jual tertinggi. Kalaupun ada faktor pendongkrak lain, barangkali adalah single “The Wrestler” yang dinyanyikan oleh Bruce Springsteen yang menjadi soundtrack. Atau ketika “Sweet Child O’Mine” versi Guns N’ Roses berkumandang.

Lagu dekade 80-90 an yang sempat populer seperti “Jump” milik Madonna, “Animal Magnetism” milik Scorpions, dan “Don’t Walk Away” milik Firehouse juga sempat terdengar. Cocok sebagai sarana nostalgia untuk anda yang ada dalam jaman-jaman keemasan mereka.

Rourke sendiri, memerankan tokoh Ram dengan pas. Di satu sisi, ia harus menjadi pegulat keji. Namun di sisi lain, ia bisa juga takluk di tangan wanita. Atau ketika ia harus berhadapan dengan putrinya. Sampai-sampai harus berbelanja hadiah untuk sang putri.

Bisa jadi "The Wrestler" menjadi film terbaik yang pernah dibintangi Rourke. Apalagi, jika mengingat prestasi yang diraih sejauh ini. Seperti mendapatkan penghargaan Singa Emas untuk film terbaik pada festival Film Venisia 2008.

Namun untuk mendapuk Rourke sebagai aktor terbaik pada Academy Award 2009, pemikiran panjang tentu tak bisa dihindarkan. Rourke harus "bergulat" dengan akting memukau Sean Penn dalam "Milk", dan Brad Pitt dalam "The Curious Case of Benjamin Button". Juga ada dua pesaing lain, yaitu Richard Jenkins dalam "The Visitor" dan Frank Langella dalam "Frost/Nixon" yang tak mudah ditepikan. ***

Dewi Fortuna, Flashdisk, dan Jalan Pintas

JALAN pintas memang kerap menyenangkan. Singkat, mudah, dan tepat sasaran. Perumpamaan ini nampaknya juga sedang digandrungi oleh beberapa film Indonesia yang sedang diputar di pasaran. Sebut saja "Asmara Dua Diana" dan "Jagad X Code". Seberapa pintas jalan yang diretas, dan apakah film-film dengan cerita "instan" masih digandrungi?

Dalam "Asmara Dua Diana", jalan pintas dilakukan oleh Asmara, tokoh utama yang diperankan oleh Jamie Aditya. Asmara terbilang beruntung. Ia menikahi Diana Wulandari (Luna Maya), seorang putri tunggal dari keluarga kaya raya.

Karena itu, Asmara menjadi bos sebuah travel sukses. Namun tak hanya itu, ia harus menghadapi gangguan dari sekelilingnya. Misalnya, ulah pengusaha travel saingan, dan "gangguan" dari wanita-wanita cantik yang hanya mengincar hartanya.

Tentu saja Asmara tergoda. Walau sudah punya istri cantik yang menunggunya di rumah, Asmara tetap bermain api. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Diana Dwiyana (Aura Kasih). 

Dewi Fortuna selalu bersama Asmara. Nama yang sama, dipikirnya akan menjadi hal yang mudah. Bukankah tak perlu lagi repot mencari nama samaran ketika ia sedang “terjebak”? Bagaimana kalau ia mengigau? Atau, salah panggil nama? Begitulah, nama yang sama jadi kebetulan yang manis. Tak perlu ada kerepotan seputar nama. Asmara menyebutnya "Diana1" dan "Diana2". 

Diana Dwiyana yang seksi, agresif, dan manipulatif pun sukses menggoda Asmara. Ia hamil. Ia menuntut Asmara untuk menikahinya. Asmara bingung bukan kepalang. Pasalnya, istrinya juga sedang hamil. 

Lantaran pusing, Asmara memikirkan jalan pintas. Jalan pertama, menculik dan menekan Diana Dwiyana, gagal. Hingga ia mencari jalan pintas lain, masuk penjara. Dengan begitu, ia terbebas dari dua Diana. 

Nah, kalau dalam "Jagad X Code", jalan pintas dilakukan oleh tiga sekawan. Mereka adalah Jagad (Ringgo Agus Rahman), Bayu (Mario Irwiensyah) dan Gareng (Opie Bahtiar). Tak punya pekerjaan, mereka menerima tawaran dari seorang preman, Semsar (Tio Pakusadewo). 

Tugas mereka sebenarnya mudah. Mencopet tas seorang sekretaris wanita, dan mengambil flashdisk di dalamnya. Untuk kerja itu, mereka diiming-imingi imbalan Rp 30 juta. Namun masalahnya, mereka yang tinggal di bantaran Kali Code Jogjakarta, tak tahu apa itu flashdisk.

Dari sana, kelucuan mulai terjadi. Mereka pun mengira, bahwa parfum mini yang ditemukan di dalam tas, adalah flashdisk. Hingga suatu saat, parfum yang dikira flashdisk itu dicuri orang. 

Orang itu adalah Regina (Tika Putri), yang punya penyakit clepto. Adegan kejar-kejaran pun terjadi, hingga mereka sampai ke rumah Regina. Ternyata, Regina adalah seorang putri dari pengusaha yang kaya raya. Mau dibilang apa? Mereka tak bisa masuk karena ada penjagaan. 

Dewi Fortuna menaungi Jagad, Bayu, dan Gareng. Di suatu jalan, mereka menemukan Regina kembali. Setelah adegan kejar-kejaran, mereka menangkap Regina. Setelah beberapa saat mengobrol, mereka mengetahui bahwa Regina sedang minggat dari rumah. Akhirnya, mereka mengajak Regina untuk tinggal di rumah Jagad. 

Dari dinding kaku di rumahnya, Regina dengan cepat menyukai daerah tempat tinggal Jagad. Lika-liku gang perkampungan, warga yang hangat dan saling menyapa, serta persahabatan baru, dengan cepat menarik hati Regina. 

Bersama-sama, mereka memburu keberadaan flashdisk tersebut. Alasannya simpel. Trio Jagad, Bayu, dan Gareng butuh uang. Jagad ingin membelikan mesin cuci bagi ibunya, Bayu ingin punya lapak jualan buku dan majalah, sedangkan Gareng ingin membuat salon kecil buat adiknya, Menik.

Jalan pintas yang diambil Asmara dan trio Jagad-Bayu-Gareng, memang menarik disoroti. Mereka ingin hidup enak. Enak dalam maksud Asmara, adalah jauh dari kejaran istri dan selingkuhannya. Ia juga tak perlu pusing memikirkan beban biaya hidup ketika ia jatuh miskin. Di penjara, kehidupannya toh sudah terjamin.

Sedangkan hidup enak menurut Jagad-Bayu-Gareng, adalah ketika bisa menyenangkan orang terdekat mereka. Mereka yang tergolong anak muda "baik-baik" ini, harus menghalalkan segala cara. Oh ya, ada lagi hal menarik dalam kisah mereka. Perburuan flashdisk dibungkus dengan suasana Kali Code yang polos. Sungguh menarik. 

Dua hal yang dapat ditarik dari dua film ini, adalah karakter tokoh yang selalu beruntung dan pengambilan jalan pintas. Kalau kedua film ini laris manis di pasaran, pasti akan menambah peruntungan tersendiri. Sedangkan jalan pintas yang dipilih tokoh di kedua film tersebut, menjadi suatu satire tersendiri.

Sesungguhnya, masih banyak cara dengan bisa ditempuh untuk keluar dari masalah. Untungnya, kedua film ini dibalut dengan nuansa komedi ringan. Ironis? Namanya juga jalan pintas. ***

1/19/09

The Movie, Pintu Terlarang

"Dia tidak malu. Dia hanya tidak mau punya anak dari kamu. Dia musuh kamu."

KALIMAT yang dituding dari mulut seorang lelaki tak dikenal di sebuah klinik aborsi, mengguncang benak Gambir. Saat itu, ia mengantar calon istrinya Talyda, menggugurkan kandungan. Sejak saat itu, ia dihantui oleh masa-masa kelam tak berkesudahan.

Sosok Gambir adalah Fachri Albar, dan Talyda adalah Marsha Timothy. Dalam dunia surealis yang dikonstruk oleh sutradara muda Joko Anwar, kehidupan mereka diciptakan melalui "Pintu Terlarang".

Gambir, adalah seorang seniman introvert. Hidupnya sempurna. Keluarga yang hangat, karir yang cemerlang, sahabat yang solid, dan satu lagi yang sempurna, istrinya yang cerdas dan cantik, Talyda. Namun siapa yang sangka, kalau di balik itu, Gambir menyimpan banyak penat. Kesempurnaan itu hanya ada di atas permukaan. 

Di lain adegan, pameran patung yang diselenggarakan Gambir sukses besar. Kali ini bukan sembarang patung. Patung perempuan hamil yang dibuat Gambir. Patung itu serasa memiliki ruh, sebuah pencapaian estetika yang tinggi. 

Istrinya Talyda yang manipulatif, terus mendorong Gambir untuk menghasilkan patung perempuan hamil. Begitu juga dengan pemilik Galeri, Koh Jimmy yang terlanjur kepincut dengan karya Gambir. Alasannya singkat, ia suka patung buatan Gambir dan mencium raupan keuntungan dari situ. 

Hingga suatu saat, Gambir mendapat teror berupa pesan aneh. Bunyinya sederhana, dua kata "Tolong Saya". Ternyata, pesan itu dari seorang anak kecil misterius yang disiksa secara sadis oleh orang tuanya. Gambir seakan terobsesi, untuk menolong. 

Kepenatan dalam otak Gambir semakin menjadi ketika ia menyadari bahwa Talyda menyimpan suatu rahasia. Ada satu pintu bercat merah di belakang dinding bengkel kerjanya. Pintu itu ditutupi sebuah lemari kayu besar. Saat hendak dibuka, Talyda muncul sambil menatap Gambir, nanar. 

“Kamu ingat ya Gambir. Pintu itu adalah pintu yang terlarang. Sekali kamu buka, semua yang kita telah bina selama ini akan hilang. Sekali kamu buka, hidup kita akan berakhir. Hidup kamu akan berakhir," ancam Talyda. 

Potongan-potongan adegan tersebut sepintas membingungkan. Terutama, untuk menguraikan simpul-simpul cerita, dan kemana cerita itu akan berujung. Dalam versi novel berjudul sama garapan Sekar Ayu Asmara, cerita itu memang dibagi menjadi 3 plot. 

Plot pertama tentang seorang anak berusia 7 tahun yang mendapat siksaan fisik dan mental dari kedua orang tuanya. Plot kedua tentang hidup Gambir yang sempurna. Plot ketiga tentang seorang jurnalis obsesif bernama Pusparanti. Di sinilai kepiawaian Joko Anwar untuk mentransformasikan buku ke dalam media film, harus teruji.

Tak seperti versi novel yang baru mendapat ruh di setengah cerita terakhir, versi film garapan Joko sudah menampilkan simpul menarik sejak awal. Dibalut opening yang unik dan elegan, Joko mengaduk emosi penonton lewat twist hidup Gambir.

Menyaksikan opening film, siapa saja bisa terhenyak. Nampaknya Joko sadar benar, opening adalah bagian krusial. Bagian yang menyisakan kesan mendalam di benak penonton dengan kekaguman atau sebaliknya. Dan ia berhasil dengan baik. 

Plot yang ditampilkan sebelum opening credit, mampu menjadi nyawa tersendiri. Kesan artistik, elegan, dan berkelas muncul lewat dialog, penggambaran karakter secara tuntas, dan sinematografi jempolan. 

Pesan yang ingin diguratkan sebenarnya cukup jelas. Kekerasan terhadap anak akan terus membekas, menghasilkan kelakuan minor yang terus ada hingga dewasa. 

Balutan drama kental, menjadi sedemikian menarik untuk dinikmati tatkala Joko menampilkan kualitas gambar artistik. Konsep noir jelas tak mampu dihindarkan. Gelap, namun estetis. Gaya “Joko banget”. Kehadiran klub rahasia “Herosase” yang imajinatif juga menjadi ruh tersendiri.

Untuk membuat detail makro gambar, Joko menggunakan kamera film 35mm ARRICAM ST. Proses post-production dilakukan melalui proses Digital Intermediate (DI), yaitu proses untuk memperkaya warna melalui high definition digital medium sebelum kembali ditransfer ke film selluloid 35mm. Tak hanya itu, "Pintu Terlarang" diperkaya dengan tata audio Dolby Digital Surround EX. 

Dukungan perangkat memang menjadi keunggulan tersendiri. Simak saja adegan ketika Gambir mengejar sang anak misterius di lorong. Tata cahaya, angle pengambilan gambar, scoring, dan sinematografi yang menciptakan perpaduan memuaskan. 

Tak hanya itu, Joko memboyong kru yang sudah membuatnya klik dalam film sebelumnya, "Kala". Penata musik Aghi Narottama, penata sinematografi Rachmat Syaiful, dan penata artistik Wencislaus. Bahkan, untuk pengerjaan scoring dan lagu soundtrack, Aghi menggandeng band SORE, Zeke Khaseli, Anda, dan Emil "Naif". Dengan begitu, kesan nuansa musik yang dihasilkan sudah bisa dibayangkan, bukan? 

Sesungguhnya, "Pintu Terlarang" menjadi film yang "membuka" 2009 dengan baik. Thriller dewasa dalam bentuk crime-violance-sex-obsessive-conspiracy, merupakan movie-going experience yang akan meninggalkan kesan mendalam. Dan akhirnya, satu kata terakhir untuk "Pintu Terlarang", classy. (Endah Asih)*** 

The Soul of Pintu Terlarang

BELUM juga ditayangkan secara reguler pada Kamis (22/1), drama thriller "Pintu Terlarang" sudah banyak mendapat banyak apresiasi positif. Dari pemutaran midnight pada Sabtu (17/1) lalu, nyaris seluruh tiket yang dijual di 7 bioskop di Jakarta dan Bandung ludes terjual.

Pada pemutaran midnight di Jakarta, "Pintu Terlarang" diputar di dua jaringan 21 Cineplex, dan tiga auditorium Blitz Megaplex. Sedangkan di Bandung, film garapan Joko Anwar ini diputar di Blitz Megaplex Parijs Van Java dan Cihampelas Walk XXI. 

"Di 5 bioskop semua sold out, kalau yang lain hanya deretan depan yang tersisa," ucap produser "Pintu Terlarang" Sheila Timothy, Senin (19/1). 

Dan tentu, ambang kesuksesan "Pintu Terlarang" berada di tangan sang sutradara, Joko Anwar. "Yess, hampir semua sold out, im so exciting, jadi optimis banget setelah tahu jumlah penonton pada pemutaran midnight," kata Joko.

Produksi film berdurasi 115 menit ini memakan biaya sekitar Rp 6 Miliar. "Hmm, tapi budget segitu masih tergolong kecil untuk film seperti ini," ujar penyuka film misteri thriller sejak kecil ini. 

Proses syuting sendiri, dilakukan di Jakarta dan Bogor selama 30 hari sejak 27 Juli 2008. Sedangkan tahap pra-produksi dimulai sejak Maret 2008. "Saya sudah menonton film ini beratus-ratus kali, mulai dari hasil editing yang masih kasar sampai jadi, dan semakin mendekati hasil akhirnya, saya makin optimis, ya kita do the best aja," kata Sheila. Film ini merupakan produksi perdana LifeLike Pictures.


Diberi Kebebasan

Ide skenario film memang bisa berasal dari mana saja. Terutama video game, komik, dan novel. Semakin karya awal diapresiasi oleh kalangan penikmat kebudayaan massa, maka semakin beratlah beban yang harus dipikul oleh filmaker. 

"Tapi percaya atau enggak, waktu gue nulis skenario film ini tuh ngalir banget. Setelah selesai baca novelnya, gue diemin buku itu 3 bulan. Habis itu, baru gue mulai penulisan skenarionya dari awal, supaya enggak terpengaruh banget," kata Joko. 

Pilihan Joko untuk mengadaptasi "Pintu Terlarang" dari novel karya Sekar Ayu Asmara terbilang tepat. Hal itu disebabkan karena ia mendapatkan kebebasan mutlak dalam proses adaptasi.

"Pas ketemu sama mbak Sekar, dia bilang ini skenario boleh diacak-acak semau gue, terserah mau diapain aja. Dan sejak awal gue memang enggak mau menjadikan film ini tumplek sama kayak novelnya. Film adaptasi itu harus punya nilai tambah karena harus ada added value nya," kata pria yang pertama kali menulis sekaligus menyutradarai "Janji Joni" ini.

Penulis novel “Pintu Terlarang” Sekar Ayu Asmara, ketika dihubungi Senin (19/1) mengaku puas dengan adaptasi yang dilakukan Joko. “Adaptasi yang bagus. Joko bisa melihat novel saya sebagai satu kesatuan yang utuh,” kata Sekar. 

Joko Anwar dan Sekar Ayu Asmara pertama kali dipertemukan pada penggarapan “Biola Tak Berdawai”. “Saat itu dia (Joko, red) yang jadi asisten sutradara saya. Saya memang khusus meminta dia untuk membuat film Pintu Terlarang, karena jujur saja saya tidak bisa. Satu-satunya orang yang bisa kayaknya cuma dia,” kata Sekar, menjelaskan tentang hal ihwal proses adaptasi.

Terhadap penggarapan film “Pintu Terlarang”, Sekar mengaku memberikan keleluasaan kepada Joko dan kru. Sampai-sampai, ia menolak untuk membaca ketika disodori naskah skenario garapan Joko. 

“Saya enggak mau waktu Lala (panggilan untuk Sheila, red) minta saya untuk baca skenario. Kalau saya baca dan mengedit, apa bedanya dengan novel saya jadinya. Makanya saya memilih untuk tidak ikut campur,” kata Sekar.

Dan kepercayaan Sekar berbuah manis. Usai menonton “Pintu Terlarang”, ia tak menyebutkan kritikan. “Saya memandang dari kaca mata penonton saja. Yang penting esensi moral tidak hilang. Dan dia berhasil,” ujar Sekar. 


Tak Pasang Target

Namun, Joko memang belum menemukan kesulitan berarti pada tahap adaptasi. Kesulitan sebenarnya baru ditemui saat ia harus menawarkan konsep matangnya kepada beberapa produser.

"Yang jadi masalah banget, produsernya ga ada yang berani bikin ketika selesai baca. Mereka bilang terlalu sadis. Padahal gue udah mencoba untuk ngeyakinin mereka, kalau gue enggak akan bikin film ini jadi kotor kayak Saw dan semacamnya. I'll make this become an ellegance film, yang indah," kenang Joko. 

Untungnya, kesulitan tersebut sirna ketika ia bertemu dengan Sheila Timothy. "Lala open minded banget, dia percaya banget sama gue, gue bisa ngapain aja, makanya hasilnya bisa maksimal," ucap Joko. 

Tak hanya berpotensi untuk mendongkrak penjualan tiket dalam skala nasional, "Pintu Terlarang" sudah melakukan jauh daripada itu. Film ketiga yang disutradarai sekaligus ditulis skenarionya oleh Joko Anwar ini, terpilih untuk mengikuti International Film Festival Rotterdam ke-38, yang dijadwalkan berlangsung pada 21 Januari-1 Februari 2009. 

Namun untuk target penonton, Joko tak mematok pencapaian tertentu. "Gue enggak bikin target penonton. Soalnya itu enggak bisa dikontrol. Yang bisa dikontrol cuma kualitas. Gue udah manggil resources terbaik buat proyek film ini. Jadi angka penonton kita lihat nanti pas udah running," ucap Joko. (Endah Asih)***

When Jazz Romance Meet The Oldies

DAYA pikat film "Pintu Terlarang" rupanya tak hanya sampai pada level cerita yang kuat, penokohan yang tuntas, dan sinematografi yang apik. Jalan yang diretas penata musik "Pintu Terlarang" Aghi Narottama terbilang mulus. Bersama Bemby Gusti dan Ramondo Gascaro, ia menghasilkan musik yang soulfull bagi "Pintu Terlarang". 

Tak percaya? Pejamkan mata anda sejenak saat menyaksikan "Pintu Terlarang". Theatre of mind anda bisa-bisa terhanyut dalam nuansa 50-an. Hal tersebut beralasan, karena konsep musik yang bertaburan dalam "Pintu Terlarang" memang sengaja dibuat seperti itu. Musik yang light-hearted berirama jazz dikawinkan dengan oldies. Untuk itu, Aghi mencari referensi dari Howard Shore, Lex Baxter, dan beberapa musisi Jazz tahun 50-an.

"Dalam dua kata, saya menyebutnya 50's American," ujar Aghi, Minggu (18/1). Dalam "Pintu Terlarang", ada 9 musik score dan 9 lagu yang menghiasi sepanjang film. Konsepnya terbilang unik, "mocking", yaitu nuansa kontradiktif. Absurditas karakter Gambir yang sedang dijajah oleh isi twisted kepala, akan disandingkan dengan lagu berirama ringan. Semua harmonis bertabrakan.

"Tapi pas kita tonton hasil gambarnya, ternyata kesan dark nya lebih terasa dari yang direncanakan. Akhirnya kita rombak musiknya. Untuk lagu, kita tetap pakai mocking. Tapi untuk scoring, kita mengikuti alur. Kalau suasana tegang, kita pakai musik tegang, supaya penonton bisa terhanyut," ucap Aghi yang merupakan lulusan Art Institute of Seattle jurusan Audio Production (Sound engineering) ini. 

Untuk penggarapan lagu, Aghi menggandeng Zeke Khaseli dan band barunya Mantra, grup musik SORE, Notturno, dan Tika and The Dissidents. 

Mantra yang di antaranya terdiri dari Zeke "Zeke And The Popo" Khaseli, Emil "Naif", dan Anda "Bunga" ini, membawakan 4 lagu untuk "Pintu Terlarang". Masing-masing berjudul "Why", "Please, Operator, Please", "Blessed The Tainted Hearts", dan "Baby, Baby". 

"Intinya semua love songs, tapi liriknya disesuaikan sama bahasa-bahasa tahun 50an. Waktu itu kan bahasanya puitis-puitis bersih, innocent. Misalnya, kata Please diulang dua kali. Musiknya early Beattles lah," ucap Zeke, Senin (19/1).

Lagu "Why" bercerita tentang seorang laki-laki yang bermimpi. Dalam mimpi itu, ia seakan disambut oleh suasana karnaval yang indah. Bahkan, ia sudah cukup bahagia walau hanya bermimpi. Sedangkan "Blessed The Tainted Hearts", bercerita tentang dua orang yang saling mencintai, tapi mendapat banyak rintangan. "Walaupun susah, tapi mereka tau apa yang mereka mau. Dan mereka akhirnya sama-sama ngejalanin itu," kata Zeke. 

"Baby, Baby" yang diciptakan oleh Emil "Naif", sebenarnya diciptakan untuk anak Emil. "Feelingnya Emil waktu itu, dia lagi ada di panggung, dan di tonton anaknya. Dia juga enggak kebayang kalau nanti anaknya gede bakal kayak gimana ya rasanya," ucap Zeke berseloroh.

Sedangkan pilihan lagu terunik jatuh pada "Please, Operator, Please". "Konsep lagunya memang weird, kayak twilight zone gitu," ujarnya. Layaknya film yang dibintangi oleh Jim Carrey, "The Truman Show", lagu ini bercerita tentang seseorang yang tidak menyadari kalau dirinya berada dalam setting. "Kalo jaman dulu kan mau nelfon harus disambung lewat operator, nah dari situlah lagu ini tercipta, saat orang itu mau nelfon pacarnya," ungkap Zeke. 

Selain Zeke dan Mantra, musisi lain yang kebagian peran signifikan adalah grup band SORE. Grup yang sudah menelurkan 2 album ("Centralismo" dan "Ports of Lima") ini menciptakan 3 lagu untuk "Pintu Terlarang". Lagu tersebut adalah "Nancy Bird", "Merry Mist", dan "Lullaby Blues". 

"Awalnya kita bikin 2 versi, nuansa yang kental sama tahun 20-an dan 60-an," kata vokalis sekaligus gitaris SORE, Ade Firza Paloh. Untuk kiblat pengerjaan ketiga lagu ini, mereka paling banyak terinspirasi dari musik Englebert Humperdinck dan Al Gouly. Di antara ketiganya, mereka paling terbuai dengan nuansa yang dihadirkan harmoni "Merry Mist". 

"Merry Mist memang gila banget. Nuansanya hangat, kekeluargaan, dan romantis. Itu menantang karena kita harus bikin lagu yang berdurasi 10 menit tapi enggak diulang-ulang. Akhirnya kita gabung sama saxophone yang panjang dan string section," ucap gitaris yang lain, Reza Dwiputranto. Dan lagu yang ter-influence dari Bing Crosby dan Nat King Cole ini memang ampuh mendampingi adegan klimaks dalam "Pintu Terlarang". 

"Nancy Bird" bercerita tentang keputusasaan seseorang yang hanya bisa melihat penderitaan dari jauh. "Waktu itu yang ada di kepala gue waktu nyiptain ini adalah suasana sub-urban, inspirasinya dari Al Gouly," ucap Ade, yang juga berperan sebagai salah satu karakter dalam "Pintu Terlarang" ini. Sedangkan "Lullaby Blues", bercerita tentang seseorang yang memutuskan untuk meninggalkan apa yang dimiliki, demi bersama dengan seseorang. 
After all, komposisi yang ada dalam musik "Pintu Terlarang" menjadikan film ini elegan dan stylish. Satu paket apik yang urung terbantahkan. (Endah Asih)***

1/18/09

Can Slumdog Became a Millionaire? Why Not?

KEMENANGAN film Bollywood "Slumdog Millionaire" di ajang Golden Globe 2009 menyisakan catatan menarik. Film yang bersetting tentang kehidupan di Mumbai, India ini, mampu mengalahkan prediksi kuat kemenangan "Revolutionary Road" dan "The Curious Case of Benjamin Button". Bagaimana bisa?

Dibesut oleh sutradara berkebangsaan Inggris yang populer lewat "Trainspotting" dan "The Beach", Danny Boyle, film ini memang terbilang istimewa. Cerita dan setting yang membumi, menampilkan wajah polos perkampungan kumuh di India. 

Film adaptasi novel ini berkisah tentang seorang anak berusia 18 tahun, Jamal Malik (Dev Patel) yang sedang duduk di kursi panas "Who Wants To Be Millionaire" versi India. Jamal yang dibesarkan di jalan, terbilang beruntung. Ia bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan, untuk mendapat hadiah utama, 20 juta rupee. 

Kisah satire ini berlanjut ketika Jamal kemudian ditangkap polisi karena dicurigai bertindak curang. Ia disiksa sambil dipaksa untuk mengakui perbuatannya. Namun, siapa sangka kalau pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan, justru membuka luka lama di benak Jamal.

Sepintas, gaya indie yang terlihat mempengaruhi film ini mengingatkan pada film sejenis "Juno" dan "Little Miss Sunshine" yang sudah lebih dulu disambut baik oleh pasar. Penonton diajak tertawa dengan kepolosan adegan dan gaya tutur. Sederhana, segar, dan menghibur.

Lewat "Slumdog Millionaire", Boyle seakan mengajak penonton untuk mempertanyakan kembali arti kemapanan dari sudut pandang anak terlantar. Lewat twist kisah hidup Jamal, penonton seolah diajak untuk berempati. Film yang juga dibintangi oleh Shah Rukh Khan ini, juga menyentuh sisi humanis, ketika baik disadari atau tidak, sikap sinis sudah sedemikian erat bergelayut di kalangan mapan, dengan menepikan masyarakat kelas bawah.

Simak saja dialog ketika sang pembawa acara kuis menyepelekan kemampuan Jamal saat kuis berganti iklan. Atau saat ia melontarkan sindiran, "Get along with 100 dollar bills of your life?" ketika pertanyaan sampai pada topik mengenai tokoh yang ada dalam uang 100 dollar AS. Ya, cerita polos seperti bagaimana Jamal kecil bisa mendapatkan tanda tangan sang idola, Amitabh Bachchan, juga merupakan satire yang teramat menggelitik.

Kalaupun ada satu keanehan yang mengganggu sepanjang film, barangkali adalah ketika Jamal sampai pada pertanyaan terakhir, detik-detik menentukan apakah ia akan menjadi milyuner, atau kembali ke jalan. Jamal yang buta huruf latin, tiba-tiba bisa membaca sederetan pertanyaan. Namun terlepas dari itu, "Slumdog Millionaire" tetap segar dan menyenangkan.

Dan memang, nuansa segar dan menyenangkan tersebut belum bisa ditandingi oleh besutan sutradara David Fincher, "The Curious Case of Benjamin Button". Walaupun sebenarnya, "The Curious Case of Benjamin Button" ini memiliki lebih dari harapan penonton terhadap sebuah film berkualitas. 

Plot yang diadaptasi dari sebuah cerita pendek karya F. Scott Fitzgerald ini, bercerita tentang seorang bayi yang dilahirkan dengan wajah renta. Namun seiring berjalannya waktu, ia berangsur-angsur menjadi muda. Benjamin (Brad Pitt), anak tersebut, mengalami kebalikan pertumbuhan orang normal. 

Naskah film ini sendiri, dikerjakan oleh Eric Youth, yang pernah menggarap "Forrest Gump". Sedangkan deretan pemain sudah terkesan "sangat aman". Sebut saja nama seperti Brad Pitt, Cate Blanchett, hingga Tilda Swinton yang menjadi jaminan.

Menggunakan teknik animasi motion capture canggih Contour System (CS), Fincher mampu menyulap metamorfosis wajah Pitt. Teknik ini dilakukan dengan cara mengambil wajah Pitt dari segala sudut pandang dan ekspresi, mengolahnya sesuai kebutuhan adegan, dan menempelkan wajah hasil kreasi tersebut di tubuh Pitt. Hasilnya luar biasa, akting Pitt tetap bisa dinikmati walau ia berwajah remaja, atau renta sekalipun. 

Keindahan film ini memang mengangkat memori terhadap film sejenis "Forrest Gump", elegan dan menarik. Sayangnya, hal tersebut masih belum mampu menandingi gaya "indie" yang diusung Boyle dalam "Slumdog Millionaire". Terlebih, ending film yang mudah ditebak dalam "The Curious Case of Benjamin Button", kurang memicu rasa penasaran penonton. 

Sedangkan "Revolutionary Road" yang kembali mempertemukan pasangan emas "Titanic", Leonardo Di Caprio dan Kate Winslet sebagai kekasih, tampaknya harus kalah pamor. Padahal, film ini sekaligus menjadi pencapaian akting Di Caprio-Winslet yang nyaris sempurna. 

Film dengan setting yang setia terhadap novel karya Richard Yates ini, bercerita tentang konflik ketidakcocokan dan ketidakpuasan dalam rumah tangga. Cinta dan toleransi, toh masih bisa terkalahkan ketika idealisme mengatakan lain. Ego dan ambisi April (Kate Winslet) dan Frank Wheeler (Leonardo Dicaprio), menciptakan pertengkaran demi pertengkaran yang menjadi pukulan telak kehidupan rumah tangga. 

Nafas drama yang kental mewarnai film berdurasi 119 menit ini, juga mengisahkan cerita yang membumi. Namun, tak terlalu banyak kejutan yang mampu ditawarkan. Pamor pertautan emosi Di Caprio dan Winslet yang mengagumkan, tetap sulit diimbangi oleh kepolosan wajah Dev Patel yang berperan sebagai Jamal dalam "Slumdog Millionaire". 

Dan ya, kualitas prima sebuah film memang bisa diharapkan dari film mapan seperti “The Curious Case of Benjamin Button” dan “Revolutionary Road”. Namun, apapun bisa terjadi. Lewat kemenangan “Slumdog Millionaire” dalam ajang pemanasan Oscar ini, elegansi dan kemapanan kualiatas rupanya belum menjadi jaminan. Justru film berbudget rendah dan plot polos nan membumi, bisa mencuat ke permukaan. Gejala apakah ini? ***

Way to Road of Revolutionary

PERNAH dilanda kejenuhan hebat akibat rutinitas yang selalu berputar? Berbagai upaya memang kerap dilakukan untuk menghalau. Tujuannya jelas, memperoleh kembali tantangan untuk sekedar meningkatkan adrenalin. Bahkan, bisa mendapat percikan gairah menjalani hidup. Merasa bebas, dan bersemangat.

Jika iya, tenang saja, anda tak sendiri. Pasangan emas Leonardo di Caprio dan Kate Winslet dalam "Revolutionary Road", menemani anda. Salah satu nominasi film terbaik Golden Globe 2009 ini, sengaja mengantarkan permasalahan tersebut.

Intinya tantangan. Ya, mereka membutuhkan tantangan. Sesuatu yang baru. Selama ini, hidup memperlakukan mereka dengan baik. Rutinitas yang menampilkan kemapanan. Namun rupanya, itu belum cukup. 

Frank (Leonardo Di Caprio) dan April Wheeler (Kate Winslet) adalah pasangan suami istri yang sudah memiliki 2 anak. Sedikit flashback, mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Selanjutnya bisa ditebak, pasangan yang memiliki karakter sama kuatnya ini terlihat seperti pasangan bahagia. Muda dan bergairah. Semua sempurna.

Tapi tunggu dulu. Tak semua hal yang terlihat baik-baik saja di permukaan, menyimpan geliat hal yang sama. Mereka punya satu masalah besar: rutinitas sehari-hari yang menimbulkan kebosanan, menjadi kerak persoalan. Tak ada lagi hal baru yang menantang. Semua datar.

Hingga akhirnya, April mendapat ide baru. Semangatnya kembali bergelora. Ia pun membujuk suaminya, untuk memuluskan rencananya. Pergi ke Paris, memulai sesuatu yang baru. Tantangan hidup jelas menganga lebar. Seketika, pasangan ini tampak seperti pertama kali berkenalan. Tak ada lagi adu mulut panjang. Pun sikap dingin di meja makan. Semua baru.  

Sayangnya, rencana mereka terganjal dua hal. Kehamilan April dan promosi Frank di kantor. Sanggupkah mereka melepas segala kemapanan, demi suatu tantangan baru yang sudah ada di depan mata?

"Revolutionary Road" memang bukan kisah cinta sederhana dengan konsep happily ever after. Sutradara kelahiran Berkshire, Inggris - yang juga suami Winslet - Sam Mendes, jelas menghadirkan realisme kehidupan rumah tangga. Semua tampak nyata.

Sutradara yang sebelumnya sukses menggarap "American Beauty" (1999) ini, membidik sisi kelam persoalan rumah tangga. Percampuran ego dua orang dalam kemasan pernikahan, memang menyisakan sekelumit masalah. Seperti sosok April, yang masih berambisi untuk menjadi aktris. Atau Frank, yang berambisi untuk bebas, tak terikat dengan peraturan baku perusahaan. 

Terlebih, mereka tidak hanya disibukkan dengan percekcokan internal rumah tangga. Faktor tetangga dan teman kantor, juga menjadi bumbu cerita tersendiri, dan menarik. Selain itu, ada perselingkuhan. 

Mendes detail menyampaikan permasalahan itu. Betapa cinta dan kompromi tidak mampu menghalau masalah yang timbul. Tentunya, hal itu jadi pukulan telak bagi setiap perjalanan rumah tangga yang tak mampu bertahan.

Bicara tentang penokohan, unsur Di Caprio-Winslet tentu tak bisa ditepikan. "Revolutionary Road" bukan hanya ajang reuni mereka seperti 11 tahun lalu dalam "Titanic". Film berdurasi 119 menit ini, merupakan ajang pencapaian akting mereka yang nyaris sempurna. Tak lagi menampilkan kesan imut-imut seperti Rose-Jack dalam "Titanic", kini mereka menampilkan akting yang lebih matang. 

Bahkan kalau Winslet membawa pulang trofi Golden Globe untuk perannya sebagai April, itu memang layak. Winslet berhasil bertransformasi menjadi April yang kuat, ambisius, sekaligus rapuh. 

Dan akhirnya, skenario yang matang, menampilkan "Revolutionary Road" yang menggetarkan. Walaupun dibungkus dengan banyak dialog panjang, film adaptasi novel Richard Yates toh tetap asyik disaksikan. Memotret Sarana untuk memotret kehidupan realistis yang bisa dihadapi dalam rumah tangga, hingga kontemplasi. ***

Under The Old Tree

KETIGA perempuan itu punya kisah berbeda. Perempuan pertama, 27 tahun, terduduk lemas di kursi belakang taksi, simbol kemapanan kaum urban. Dia mencari ibu yang membuangnya di waktu kecil. Perempuan kedua, 40 tahun, berdiri lemas menahan rasa sakit teramat sangat. Sakit itu bersumber dari rahimnya, janin yang dikandung. Sang janin divonis terkena Anchepalus. Perempuan ketiga, lebih eksplisit. Dia lemas karena sosok yang dipujanya tak juga memberi perhatian balasan. 

Perempuan pertama adalah Maharani (Marcella Zalianty). Perempuan kedua adalah Dewi (Ayu Laksmi). Dan perempuan ketiga adalah Nian Priyatna (Bella Saphira). Oleh sutradara Garin Nugroho, kisah ketiganya diuntai dalam bentuk fiksi berdurasi 107 menit, "Under The Tree". 

Sebelum diputar reguler untuk publik, Kamis (8/1), gaung yang terdengar dari film ke-10 Garin tersebut sudah kencang berhembus. Sejak pertengahan 2008, "Under The Tree" sudah melakukan roadshow internasional, dari festival ke festival. 

Pada Tokyo Film Festival 2008, "Under The Tree" berhasil masuk kategori International Competition Selection. Lalu film ini ikut serta dalam beberapa festival film internasional lain seperti Toronto International Film Festival 2008, Vancouver International Film Festival 2008, London International Film Festival 2008, Jakarta International Film Festival 2008, dan berikutnya akan tampil dalam International International Film Festival 2009. Sementara pada FFI 2008, "Under The Tree" membawa pulang 2 trofi, dari 9 nominasi yang disabet.

Sederet pengalaman festival tersebut, tentu bukan tanpa alasan. Kekayaan budaya pulau Dewata dieksplor dengan cara tak biasa. Di tangan Garin, Bali tak hanya ditampilkan dalam bungkus pariwisata benderang, melainkan eksotisme yang menampilkan daya magis tak terhingga.

Tak tanggung-tanggung, Garin memvisualisasikan adegan Calonarang, dramatari ritual magis yang bercerita tentang kematian. Di Bali, prosesi tradisional ini masih tergolong "angker". I Made Bandem dan Frederik Eugene deBoer dalam "Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition" (1981), sempat menjuluki Calonarang sebagai "magic dance of the street and graveyard".

Tokoh utama prosesi tari Calonarang, adalah seorang balian, atau setidaknya orang yang paham dunia supranatural. Untuk melakoni adegan yang diambil di Pura Puseh Tegalsuci-Gianyar tersebut, Garin menggandeng grup Sandhi Muti pimpinan I Gusti Ngurah Hartha. Tokoh utama tari tersebut, adalah dramawan dan penulis skenario, Ikranegra. 

Namun, sukses di kancah festival dan diperkuat deretan pemain mumpuni bukan berarti menjadi jaminan sukses di mata penonton lokal. Nyatanya, dari hasil penjualan tiket di dua bioskop di Jakarta pada hari pertama pemutaran, "Under The Tree" hanya membukukan angka penonton yang bisa dikatakan tak spesial. "Di dua bioskop di Jakarta, baru ada 318 penonton, masing-masing 144 penonton dan 174 penonton," kata Rani Yunanda, perwakilan SET Films, rumah produksi dimana "Under The Tree" bernaung. 

Di Bandung sendiri, film yang baru diputar di Blitz Megaplex Parijs Van Java (PVJ), meraih angka penonton yang kurang menggembirakan. Sebagai contoh, pada hari kedua pemutaran, Jumat (9/1), hanya ada 3 tiket yang terjual di jam pemutaran pertama. Di Blitz Megaplex PVJ, "Under The Tree" diputar dalam 4 kali penayangan.

Dan memang, menyaksikan karya milik Garin, berarti memilih untuk bermain dalam dunia simbolis. Simbolis dalam bertutur, pun visualisasi adegan, ketika realisme sosial bercampur mitos. Namun secara sederhana, lewat "Under The Tree", Garin mencoba untuk mempersoalkan krisis lingkungan, yang bersumber dari krisis sosial. 

Krisis sosial sendiri, bersumber dari individu. Lebih jauhnya lagi, janin dan persemaian. Maharani yang malah mendapat lebih banyak pertanyaan ketika mencari jawaban. Dewi yang harus memilih di antara melakukan aborsi atau melahirkan, ketika mengetahui anaknya kelak akan lahir tanpa otak dan tulang tengkorak. Atau Nian yang mendambakan sosok paternal yang kemudian menjadi terobsesi. 

Mereka bertemu dengan tiga lelaki aneh lain. Mayun (Dwi Sasono) yang juga memendam kebencian pada ibunya, Darma (Ikranegara) yang kehilangan masa lalunya sebagai orang Bali, dan Kaler (I Ketut Rina) yang hebat di panggung, namun sulit untuk mengungkapkan perasaannya di kehidupan nyata. 

Alur yang lambat, simbolisasi budaya yang dapat dimaknai secara luas, mitos magis dan tak lupa alam Bali, memang menyuguhkan tontonan kualitas ala festival. Namun, bisakah film ini diinternalisasikan dalam benak penonton secara lugas? Belum tentu. ***

Ketika Pembunuhan Ditingkahi Logika Berhitung

BAGAIMANA jadinya jika urusan pembunuhan disangkutpautkan dengan teorema yang ada di balik ilmu pasti seperti matematika? Rumit, bisa jadi. Namun dalam satu film arahan sutradara berkebangsaan Spanyol Alex de la Iglesia bertajuk "The Oxford Murders", pengungkapan kasus pembunuhan menjadi metode penemuan jati diri, bahkan pencapaian. 

Berlatar tembok angkuh kampus Oxford pada 1993, seorang mahasiswa Amerika, Martin (Elijah Wood), pindah ke Oxford untuk melanjutkan kuliah. Martin yang tertarik dengan seluk beluk filsafat, memilih rumah keluarga Eagleton untuk ditinggali selama kuliah. Dalam rumah tersebut, tinggal janda Eagleton (Anna Massey) dan anak semata wayang mereka, Beth (Julie Cox). 

Tak sembarang memilih rumah untuk ditinggali, Martin sebenarnya menyimpan maksud tertentu. Yakni untuk lebih mendekatkan diri terhadap obsesinya, dosen senior Oxford, Arthur Seldom (John Hurt). Keluarga Eagleton sendiri, berteman baik dengan keluarga Seldom.

Martin yang amat tertarik dengan pemikiran Seldom, terus mencari cara agar bisa bertatap muka. Lebih lanjut, ia menginginkan Seldom untuk menjadi pembimbing thesis. Salah satu pemikiran Seldom yang mengusik Martin adalah, kematian dunia filosofi. Alasannya klasik, tak ada yang sepasti matematika. 

Suatu hari, mereka berdua terjebak dalam satu kasus pembunuhan. Mrs Eagleton ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Petunjuk pertama yang ditinggalkan sederhana, sebuah anagram lingkaran. 

Pembunuhan kedua menyangkut nyawa rekan sejawat Seldom, Prof. Kalman (Alex Cox) yang kehilangan anggota tubuh akibat kanker ganas. Namun, sang pembunuh salah sasaran. Yang terbunuh adalah teman sekamar Kalman. Petunjuk kali ini, kurva lengkung bersinggungan. Dibantu teman dekat Martin yang merupakan seorang perawat, Lorna (Leonor Watling), mereka berupaya menemukan makna pembunuhan tersebut.

Sepintas, film dengan nuansa seperti ini pernah didapat dalam "Conspiracy Theory" (Richard Donner, 1997) dan "The Da Vinci Code" (Ron Howard, 2006). Tema cerita yang dikemas dalam sebuah "versus story" menarik. Menjelajah kemungkinan filosifis versus matematis. Wittgensteinian versus logika serial-matematis. Dan persinggungan tersebut, dimunculkan untuk menguak pembunuhan yang dianggap terpola. 

Film ini memakan waktu syuting sekitar 3 bulan, sejak 22 Januari-24 Maret 2007, mengambil lokasi di Universitas Oxford, Inggris, Museum Victoria dan Albert di London, dan Pengadilan Cast Courts. 

Seperti "The Da Vinci Code", film ini diadaptasi dari sebuah novel. Novel berjudul sama yang ditulis oleh pria berkebangsaan Argentina, Guillermo Martinez. "The Oxford Murders" sendiri merupakan film produksi bersama tiga negara, Inggris, Perancis dan Spanyol. Sebelumnya kencang berhembus kabar, bahwa Iglesia memasang Elijah Wood melalui pertimbangan panjang yang dilakukan oleh pihak Tornasol Films yang memproduksi film ini. Sebelum memutuskan memasang Wood, Alex sempat melirik Gael Garcia Bernal, aktor terkenal Spanyol untuk peran utama. 

Sayangnya pilihan Iglesia memasang Wood dinilai tak terlalu tepat. Sorot mata Wood yang tajam tak diimbangi oleh gerak tubuh karakter yang seharusnya diperankan. Kecerdasan Martin tampaknya tak terlalu bisa dipancarkan secara paripurna oleh Wood. Biasanya, aktor yang berhasil melakoni peran semacam ini adalah Matt Damon dan Leonardo Di Caprio.Untungnya, Wood yang sebelumnya sukses berperan sebagai Hobbit di trilogi "The Lord of The Ring" bisa memancarkan hasrat ingin tahu besar, sehingga tak terlampau mengecewakan. 

Kegemilangan akting justru ditunjukkan oleh aktor gaek John Hurt. Walaupun peran Hurt tak terlalu menonjol dalam "V For Vendetta", "Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull", "Hell Boy", atau bahkan "Harry Potter and the Sorcerer's Stone". 

Alur yang sebagian besar twisted, membuat penonton dibuat bertanya-tanya hampir sepanjang film. Menarik untuk ditelusuri. Namun plot yang terkadang lambat ditambah dengan rumitnya persamaan matematika, membuat kening harus berkerut. Tapi tak apa. Toh hiburan pun juga bisa didapat dengan mendapatkan buncah konspirasi yang didapat dari dialog Seldom-Martin.

Semangat mencari tahu yang tak kenal lelah dan pemikiran cerdas, tentu menjadi bumbu cerita. Ditambah lagi, romantika kisah percintaan segitiga antara Martin-Beth-Lorna cukup menentukan arah cerita. Bagaimana "The Oxford Murders" mengakhiri kisahnya? Misteri apa yang hendak menyeruak di balik kisah pembunuhan tersebut? Film ini diputar secara reguler mulai 7 Januari 2008. ***

12/18/08

Dokumenter Tak Lagi Pinggiran

BUKAN hal baru jika dalam perfilman lokal, karya dokumenter kerap berada dalam ranah pinggiran. Lewat "Pertaruhan" yang dibidik dari perspektif perempuan, seni dokumenter seolah diberikan tempat istimewa. 

Produser Nia Dinata menyebutnya "counter culture". Sebuah budaya yang mampu menandingi keakuatan film naratif. "Pertaruhan" dianggap bisa menggambarkan stereotype yang ditempelkan dalam label perempuan, sekaligus mempertanyakan zona kenyamanan setiap orang.

"Lewat film ini, saya mencoba untuk menggambarkan kekuatan film dokumenter, yang katanya tidak punya nilai punya komersil. Di antara sekian banyak film naratif, mengapa tidak coba untuk memunculkan dokumenter yang memiliki narasi kuat?" ucap Nia, di sela-sela press screening film "Pertaruhan" di Blitz Megaplex Parijs Van Java Bandung, Minggu (14/12). 

Usaha Nia memang tidak sia-sia. Karena nyatanya, selain diputar pada pembukaan Jiffest 2008 lalu, "Pertaruhan" menyimpan potensi gemilang. Pada Senin (15/12), Nia mendapatkan kabar bahwa film yang diproduksinya tersebut, memeriahkan salah satu ajang bergengsi di kawasan Eropa. Berlinale 2009, Festival Film International Berlin ke-59, yang akan digelar di Berlin, Jerman, mulai tanggal 5 Februari 2009. 

"Pertaruhan" merupakan film dokumenter lokal pertama yang akan menyemarakkan Berlinale 2009. Film berdurasi 106 menit ini, rencananya akan bersanding dengan film naratif "Laskar Pelangi" yang sudah ditonton oleh lebih dari 4,4 juta penonton. Sebelumnya, film karya sutradara Garin Nugroho, "Aku Ingin Menciummu Sekali Saja", pernah lolos dalam seleksi "Berlinale 2003" yang berlangsung di Berlin, 6-16 Februari 2003.  

Kuncinya Kepercayaan

Diakui oleh seluruh sutradara antologi "Pertaruhan", tidak ada rekayasa naskah dalam bentuk fiksi. Semua berjalan seperti narasi kecil yang ditemukan, untuk kemudian disusun menjadi sebuah kepingan besar. 

"Pembuatan dokumenter gampang-gampang susah. Karena semua harus berdasar kenyataan, bagian tersulit adalah mendekati narasumber dan membuat mereka nyaman dengan kehadiran kami dan kamera kami. Kuncinya kepercayaan," ucap Ani Ema Susanti, penggarap "Mengusahakan Cinta".

Senada dengan Ani, Ucu Agustin yang menggarap "Regat'e Anak" juga mengalami kesulitan dalam mendekati narasumber. Ucu mengaku, hanya dengan memanusiakan subyek, ia bisa bereksplorasi dengan narasumber. "Tapi itu tidak mudah. Ketika awal syuting di Bolo, saya saja sempat ditawar lima belas ribu. Dikiranya saya anyaran," ucap Ucu diiringi gelak tawa.

Kesulitan tentunya juga menyergap Iwan Setiawan, M. Ichsan, dan Lucky Kuswandi ketika harus memandang dari perspektif perempuan. "Topiknya under the service," ucap Lucky yang membahasakan "Nona Nyonya" lewat diskriminasi pemeriksaan reproduksi ini, sambil tersenyum.

Sementara Iwan dan Ichsan, mengaku benturan antara agama dan budaya, menjadi titik kontemplasi. "Ketika menggarap tentang sunat pada perempuan, jujur saja saya takut salah, makanya kami beri judul 'Untuk Apa?', supaya terkesan tidak menghakimi," kata Ichsan.

Kelima sutradara muda itu tentu punya alasan kuat memproduksi karya dokumenter. Meminjam istilah Nia, barangkali ungkapan "sarana penyentil untuk breaking the ice" mumpuni juga melukiskan "Pertaruhan". Akankah "Pertaruhan" benar-benar bisa membuka jalan bagi agar orang tidak memicingkan mata bagi film dokumenter?***

Antologi Otonomi Tubuh Perempuan

WACANA anatomi tubuh perempuan barangkali bisa dipermainkan dalam ambiguitas benak setiap orang. Namun di tangan 5 sutradara muda, wacana tersebut diolah menjadi antologi film pendek dokumenter berjudul "Pertaruhan (At Stake)". Dan memang, yang dipertaruhkan adalah tubuh. Tubuh banyak perempuan dalam empat penggal cerita.

Riset merupakan modal awal. Setiap membuka cerita, hasil riset berupa potongan data faktual menjadi suguhan menarik. Tentang kenyataan yang terkadang pahit. Bahkan membuat terhenyak. Tak jarang membuat bahu tak lagi nyaman bersandar.

Cerita pertama mengambil setting tempat di Hongkong. Tempat dimana kebebasan bisa direngkuh. Begitu pula untuk Riantini (30), atau Ryan, janda beranak satu yang memilih untuk menjadi TKW. Ryan adalah korban kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian memilih menjadi lesbian. "Daripada jadi budak lelaki, mending jadi budak di luar negeri bisa dapet uang," ucapnya dalam satu adegan.

Selain itu ada Ruwati Rahayu (43), yang bimbang karena stereotype keperawanan di mata calon suaminya, Yanto, duda beranak satu. Ruwati yang masih berstatus gadis, harus melakukan operasi karena masalah rahim. Namun karena ia belum pernah melahirkan, operasi harus dilakukan melalui vagina. Tentunya, hal tersebut melahirkan keraguan di benak Yanto.

Dua cerita itu melahirkan "Mengusahakan Cinta", karya Ani Ema Susanti. Dari cerita tersebut, Ani mencoba mempertanyakan tentang otonomi tubuh perempuan. Mulai adegan "berpacaran" antara Ryan dan pacarnya yang juga merupakan migran asal Indonesia yang cukup personal, hingga adegan sentimentil Ruwati ketika bertemu Yanto di tanah air. Penonton bisa tersenyum sejenak.

Hingga dua sutradara Iwan Setiawan dan Muhammad Ichsan yang berkolaborasi menghasilkan cerita kedua, "Untuk Apa?". Tanda tanya di belakang judul bukanlah tanpa sebab. Pasalnya, kedua lelaki ini mencoba untuk memberi keleluasaan bagi perempuan untuk memilih.

Cerita ini tentang praktik sunat pada perempuan, ditinjau dari berbagai aspek. Mulai aspek agama, budaya, isu gender, hingga medis ditampilkan untuk memperkaya khasanah. Yang barangkali masih belum disosialisasikan dengan gencar, adalah sunat pada perempuan sudah dilarang oleh Departemen Kesehatan. Namun, tak sedikit orang yang mempertahankan sunat masal demi alasan budaya.

Indramayu dan Banten menjadi dua lokasi yang dipilih untuk meneguhkan budaya sunat pada perempuan. Sedangkan dari segi agama, dipilih momen saat Nong Darul Mahmada, aktivis perempuan yang juga menerima Yap Thiam Hien Award Musdah Mulia, bertanya pada Gus Dur tentang sunat perempuan.

"Dalam Islam tak ada itu. Sunat perempuan hanya tradisi di Indonesia," kata Gus Dur dalam film itu. Penonton lalu dibuat miris, ketika secuil adegan sunat dipraktikkan. Melalui sebilah silet, adegan ditutup dengan klimaks.

Cerita ketiga mengambil setting lebih kekinian. Mengambil judul "Nona Nyonya", Lucky Kuswandi menggarap isu tentang diskriminasi dalam layanan kesehatan reproduksi. Entah sadar atau tidak, diskriminasi tersebut muncul di awal pemeriksaan, dengan petugas medis yang bertanya, "anda nona atau nyonya?".

Pada pemeriksaan papsmear misalnya. Diskriminasi terjadi kepada perempuan yang aktif secara seksual, namun tidak menikah. Dalam cerita ini, Lucky dengan cerdik menggunakan kamera tersembunyi untuk kemudian mendapatkan kenyataan mencengangkan. Dua dokter yang terbukti melecehkan secara moril, hingga dokter yang memberikan ceramah keagamaan sambil mengutip beberapa bagian dari kitab suci.

Sebagai perbandingan, ditampilkan sosok Kelly (17) asal Bogor yang mencoba mencari tahu tentang kesehatan reproduksi. Namun, Kelly tidak memiliki akses cukup untuk mencari informasi.

Cerita terakhir, mengangkat seputar kemanusiaan dan hubungan sosial. "Regat'e Anak" karya Ucu Agustin, barangkali menjadi penutup yang sempurna. Menghentak, sekaligus menyentuh.
Cerita tentang Nur Hidayah (34), ibu lima anak asal Tulung Agung, Jawa Timur, dan temannya, Mira. Sehari-hari, mereka bekerja sebagai buruh penghancur batu. Namun ketika malam menjelang, mereka menjelma menjadi pekerja seks komersil di pemakaman China Gunung Bolo.
Jangan bayangkan wajah cantik dan tubuh gemulai. Kedua perempuan itu toh bekerja untuk menyambung hidup. Dari bekerja sebagai PSK, mereka menerima imbalan Rp 10.000,00 setiap kali transaksi. Sedangkan dengan menjadi pemecah batu, pendapatan kotor hanya Rp 400.000,00.

Membius dalam keheningan, antologi "Pertaruhan" ini nyatanya bisa menelisik hingga kedalaman yang mampu mengaduk emosi penonton. Mengiris ketidakpedulian dan mempertanyakan kemapanan. Juga menekankan tentang hak dan otonomi atas tubuh perempuan. Sebagaimana tubuh perempuan yang dijadikan pertaruhan. (Endah Asih/"PR")***

==
Genre: Dokumenter
Sutradara: Ani Ema Susanti, Iwan Setiawan, M. Ichsan, Lucky Kuswandi, Ucu Agustin
Produser: Nia Dinata
Durasi: 106 menit

Ada 3 Doa, Tapi Satu Cinta

KETIGA pria itu duduk dengan santai. Sebatang rokok putih tampak berpindah tangan dengan cepat. Setelah menghisap dalam-dalam, mereka berbincang dengan seru, sesekali diiringi adegan mengintip lewat celah dinding. 

Sepintas, potret tersebut tampak jauh dari citra yang diharapkan dari para santri. Namun dalam film "3 Doa 3 Cinta" debut sutradara Nurman Hakim, citra baku kalangan santri justru tampak rigid. 

Tiga tokoh sentral itu adalah Huda (Nicholas Saputra), Rian (Yoga Pratama), dan Syahid (Yoga Bagus) yang menimba ilmu di pesantren Al Hikmah milik Kyai Wahab (Brohisman). Pesantren yang dikisahkan terletak di Bantul, Jogjakarta, itu masih tergolong tradisional. Tidur beralaskan tikar, bantal yang diganti dengan tumpukan buku, tidak ada musik, dan jauh dari perkembangan teknologi.

Namun mereka tetaplah tiga pria biasa. Ereksi di sebagian pagi, mengantuk bahkan tertidur ketika sholat, gugup ketika bertemu pujaan hati, dan punya mimpi. 

Huda yang naif, berambisi untuk bertemu sang ibu yang meninggalkannya saat berumur 11 tahun di depan pesantren. Rian yang berasal dari keluarga kaya, berambisi untuk menjadi sineas, minimal tukang video pernikahan. Sedangkan Syahid, ingin ditakdirkan seperti namanya: mati syahid.

Dibatasi oleh koridor penokohan masing-masing, mereka mulai menemukan pertanda dengan cara berbeda. Huda bertemu dengan Dona Satelit (Dian Sastrowardoyo), penyanyi dangdut keliling yang terobsesi menjadi artis ibu kota. Lewat kerlingan matanya, Dona berhasil menarik perhatian Huda. Selanjutnya, Huda meminta bantuan Dona yang matrealistis untuk mencari alamat ibunya di Jakarta.

Sementara Rian, bertemu dengan kelompok pemutar film di layar tancap. Lalu Syahid, mendapati kenyataan bahwa ayahnya sakit keras. Karena terhimpit kemiskinan, ia terpaksa menjual sawah milik keluarga dengan sangat murah. Merasa frustasi, ia memilih hengkang saja, lewat jihad.

Dibingkai dengan narasi beralur lambat, penonton diajak untuk menjelajahi sisi lain para santri, pun orang-orang yang kesehariannya dekat dengan keagamaan. Sayangnya, detail yang ditampilkan dalam porsi yang terlalu banyak, membuat jalan cerita berjalan membosankan di beberapa bagian. 

Tokoh sentral yang berjumlah 3 orang, juga terkadang membuat adegan berjalan tak beraturan. Terlalu banyak hal yang ingin disampaikan. Sehingga terkesan, film ini mencoba untuk meluruskan berbagai anggapan miring seputar agama Islam. 

Sutradara Nurman Hakim menyebutnya tontonan alternatif. "Tidak seperti film Holywood yang punya satu tokoh sentral dengan tujuan yang tercapai atau tidak di akhir cerita, film ini punya struktur cerita yang berbeda," ucap Nurman ketika ditemui usai press screening film "3 Doa 3 Cinta" di Blitz Megaplex Parijs Van Java Bandung, Jumat (12/12).

Dan memang, unsur drama bernafaskan religi yang ada dalam "3 Doa 3 Cinta", lumayan membius lewat banyolan ringan. Simak saja adegan dimana Syahid merekam dirinya menyampaikan pesan terakhir, sebelum pergi berjihad. Ada juga Rian yang berceloteh, "Sholat enggak perlu kayak gitu, emangnya di Arab?" saat Syahid hendak sholat dengan mengenakan sorban. Atau adegan Huda dan Dona sedang melakukan syuting.

Bicara tentang peran, ajang pertemuan Nicholas dan Dian kali ini memang terasa istimewa. Mengisi kekosongan yang ditinggalkan sejak "Ada Apa Dengan Cinta?", duet Nico-Dian mampu bersinar. Dian yang berperan sebagai penyanyi dangdut, memang berperan sangat "dangdut". Dengan tubuh sekal yang meliuk-liuk dengan rok minim dan cengkok khas, Dian mampu bertransformasi sebagai Dona Satelit. Begitu pula dengan Nico. Dimulai dari berpakaian, berwudhu, hingga menabuh rebana dilakoni Nico dengan natural.

Ide cerita seputar insiden salah kaprah pemaknaan agama barangkali bukan kali ini saja dieksplor oleh film lokal. Sebelumnya "Long Road To Heaven" karya Nia Dinata sempat diluncurkan ke pasaran. Namun pengalaman Nurman hidup di sebuah pesantren di Demak selama 3 tahun, membuatnya "gatal" untuk meluruskan anggapan yang berkembang tentang pondok pesantren.

"Tidak semua santri itu radikal. Justru saya ingin menggambarkan adanya cinta dan ketenangan," ucap Nurman. Berhasilkah Nurman memindahkan realitas yang ditemuinya menjadi sepotong fiksi menggigit "3 Doa 3 Cinta"? Kita tunggu saja. “3 Doa 3 Cinta” hadir serentak pada 18 Desember 2008. (Endah Asih/"PR")

12/2/08

aku Takuuuttt... (Faces of Fear)

JERITAN demi jeritan, teruntai apik membentuk antologi film horor berdurasi pendek. Nuansa kelam, musik mencekam, dialog pendek, terutama gagasan menyatukan segmen demi segmen, menjadikan film "Takut (Faces of Fear)" berontak terhadap pakem horor yang kini merebak dalam perfilman lokal. 

Tak lepas dari campur tangan 7 sutradara lokal, "Takut (Faces of Fear)" terdiri dari 6 cerita independen. Dengan nihilisme penampakan hantu lokal yang "tradisional", film berdurasi sekitar 90 menit ini lumayan sukses "menghibur". Menghibur dalam arti, memuaskan dahaga penonton akan suguhan film horor lokal yang berbeda. Tidak menjenuhkan, pun menggelikan. 

Melalui ilustrasi mulus yang ditingkahi oleh sajian gending jawa kontemporer, "Takut (Faces of Fear)" mulai mempersilahkan penonton untuk memasuki gerbang satu per satu babak. 

Dan begitulah, segmen pertama berjudul "Show Unit (Rumah Contoh) dimulai dengan setting perumahan minimalis modern, dengan nuansa kelam. Bukan sembarang kelam, dominasi warna redup yang ditampilkan sutradara Rako Prijanto, layaknya hasil fotografi olah digital. 

Terkadang ditemani dengan gambar yang dihasilkan dengan pergerakan kamera handheld, segmen ini bercerita mengenai Dinna (Marcella Zalianty), janda beranak satu, dan kekasihnya, Bayu (Lukman Sardi). Tanpa sengaja, Bayu membunuh Shira, anak Dinna. Karena dalam posisi terancam, Bayu juga membunuh Andre, mantan suami Dinna. Namun Bayu tak menyangka, kalau ada seseorang yang memperhatikan dan mengetahui kejadian itu.

Dari sini, suasana mencekam mulai terbangun. Sayang, segmen ini tidak memperlihatkan simpul cerita yang utuh. Hubungan antara Bayu dan sosok misterius, tidak terjalin dengan kuat. Rapuh. 

Modernitas menjadi penghubung. Namun dalam segmen kedua, "Titisan Naya", sutradara Riri Riza mencoba menampilkan sakralitas budaya Jawa yang kental. Lewat segmen ini, Riri seakan ingin menampilkan satire, terhadap kaum muda yang terkadang melecehkan spiritualisme berbau klenik.

Naya (Dinna Olivia) terpaksa datang ke upacara pencucian keris keluarga, bersama sang ibu. Merasa bosan, ia mencoba untuk menggoda sepupunya, Leo (Junior Lim). Ketika derajat leluhur disejajarkan dengan dorongan seksual yang liar, gerbang mistis yang sedang terbuka menyeret Naya. Suasana mencekam terbangun dari bisikan sosok gaib dan pemindahan foto ke sosok aktual. 

Dengan perlahan, tarian tradisional Naya berpindah pada sebuah mata yang sedang mengintip. Kebudayaan Jawa masih dipertahankan pada segmen ini, "Peeper (Pengintip)". Seorang laki-laki pengidap voyeurisme (Epy "Kang Dadang" Kusnandar) terpikat pada kecantikan seorang pelakon teater tradisional yang mengantarkan kisah Sarpanaka. Sang perempuan (Wiwied Gunawan) ternyata tak segan membunuh, demi hidup yang lebih abadi. 

Sutradara Ray Arief John Nayoan, meramu "Peeper" dalam genre erotic thriller. Suasana apik terbangun dari detail cantik tarian dan gesture sang penari melalui paduan musik khas. Hal tersebut dengan cepat berpindah, menjadi adegan pembunuhan sadis.

Segmen beranjak pada "The List (Catatan Si Mbah)". Seorang gadis modern bernama Sarah (Shanty) mendatangi dukun agar bisa membalas sakit hatinya pada mantan kekasih (Fauzi Baadilah). Sarah memberikan serangkaian catatan, tentang apa yang harus dilakukan dukun. 

Sampai sini, penempatan "The List" dalam dalam segmen keempat seakan memberi kesempatan penonton untuk menghela nafas. Tak hanya itu, humor lugas coba ditampilkan sutradara Robby Ertanto. Cara tersebut ampuh, karena Robby menyimpan kejutan di akhir cerita. 

Segmen cerita berlanjut pada misi penyelamatan di kota Jakarta. Bergaya futuristik dengan sound system yang agak lain dengan 4 film sebelumnya, "The Rescue (Penyelamatan)" melukiskan thriller dengan cara berbeda. Layaknya "Resident Evil", sutradara Raditya Sidharta menampilkan sosok zombie yang mengkontaminasi manusia lain, hingga yang selamat harus dievakuasi. Sayangnya, perangkat canggih, darah hijau, dan serangan zombie ganas, tidak mampu dipadu dengan acting natural. Terlebih, sisipan iklan komersial terlalu banyak ditampilkan, hingga terkesan mengganggu, walaupun cukup masuk akal. 

Lewat "The Rescue (Penyelamatan)", sisi humanitas manusia modern disentil. Lewat monolog mengenai sisi kemanusiaan yang semakin hilang dan kemudian hanya menyisakan kebiadaban, film ini mencoba mempertanyakan kembali arti hubungan dengan sesama. 

Dan kemudian, segmen terakhir ditutup dengan manis oleh "Dara". Dara (Shareefa Danish), gadis pemilik restoran steak sekaligus koki perfeksionis, memanfaatkan kecantikan dan keanggunannya untuk memikat lelaki agar datang ke rumahnya. Namun di balik itu, ia membunuh dan memutilasi para lelaki, untuk dijadikan bahan steak yang dimasaknya. Dengan demikian, ia tak perlu repot mencari daging. 

Dengan gaya slasher black comedy, dua sutradara Kimo Samboel dan Timo Tjahtanto (atau The Mo Brothers) menampilkan sosok Dara dengan tuntas. Mereka pun tak pelit untuk menampilkan reka ulang, sejak daging manusia diambil dari lemari pendingin, hingga dikunyah dengan lezat oleh tamu restoran. 

Setting kekinian bercampur budaya dan mitos, masih jadi andalan antologi ini. Terlebih, seluruh cerita sangat masuk akal jika terjadi di kehidupan nyata. Dan akhirnya, jeritan menyambung segmen demi segmen, menjadi satu benang merah. 

==

Genre: Horor
Durasi: 90 Menit
Sutradara: Riri Riza, The Mo Brothers, Rako Prijanto, Ray Nayoan, Raditya Sidharta, dan Robby Ertanto
Pemain: Mike Muliardo, Shareffa Daanish, Wiwid Gunawan, Epy Kusnandar, Dinna Olivia, Junior Lim, Eva Celia Lesmana, Sogi Indraduaja, Ruben, Shanti, Fauzi Baadilah, Marcella Zalianti, dan Lukman Sardi.

11/24/08

Pencarian Terakhir

IKLIM misteri dan ketegangan yang dibangun dalam dramaturgi berbalut petualangan pendaki gunung, barangkali sudah menjadi sepenggal cerita usang. Namun dalam film panjang pertama sutradara Affandi Abdul Rachman, kisah ini bak penyejuk bagi tema film lokal yang didominasi oleh cerita berbau seksualitas dan horor. 

"Pencarian Terakhir" tak sepenuhnya terlepas dari horor, memang. Tubuh utama cerita dibumbui oleh nuansa mistis yang menegangkan. Kalau anda suka suasana yang mampu dibangun oleh film"Jelangkung" berupa kelebatan sosok misterius dan penampakan parsial, bisa jadi anda terbuai dengan film yang mulai diputar di bioskop sejak Kamis (20/11) ini. 

Daya pikat pegunungan yang penuh dengan petualangan, maskulinitas, kerja sama absolut, disiplin, dan mitos yang menyertai, menjadi jiwa tersendiri. Hal itu pulalah, yang membuat banyak orang selalu kembali, untuk menaklukan pegunungan. 

Berawal dari gambar usang tanda alur bergerak mundur, "Pencarian Terakhir" berkisah mengenai kakak beradik Gancar (Tesadesrada Ryza) dan Sita (Richa Novisha) yang sama-sama memiliki hobi mendaki gunung. Suatu hari, Gancar dan 5 temannya mendaki gunung Sarangan. Karena terlalu asyik berada di puncak gunung sambil menenggak minuman keras, mereka terlambat turun. Hari yang semakin gelap, membuat mereka kehilangan petunjuk untuk pulang. Mereka tersesat di lembah gunung. 

Sita, kakak Gancar, yang mengetahui kabar tersebut dari laporan tim SAR, langsung memutuskan untuk menjadi relawan dan melakukan pencarian. Bersama 2 temannya, Oji (Alex Abbad) dan Bagus (Yama Carlos), Sita memulai pencarian. Mereka mengajak serta Tito (Lukman Sardi), yang selama 5 tahun absen mendaki gunung. Tito memendam rasa traumatis terhadap gunung Sarangan karena pernah tersesat. Waktu itu, Tito sempat kehilangan sahabatnya, Norman (Mike Muliardo), secara misterius. 

Medan hutan hujan tropis dengan cuaca yang tidak menentu mempersulit pencarian. Belum lagi, mitos dan unsur mistis yang bergelayut dalam gunung Sarangan. Alhasil, tim SAR memutuskan untuk menghentikan pencarian. Lalu, bagaimanakah nasib Gancar dkk?

"Vertical Limits" dan "Cliffhanger" barangkali menjadi sedikit acuan, untuk film dengan tema cerita seperti ini. Untungnya oleh sutradara Affandi Abdul Rachman, "Pencarian Terakhir" mampu diadaptasi secara lokal dengan lumayan natural. Sebelumnya, sutradara lulusan Columbia College Laude ini pernah menggarap film pendek, "Paranoid" dan "Phoenix". 

Lokasi gunung Sarangan yang namanya diciptakan secara fiktif, diambil di daerah Situ Gunung, Sukabumi. Setting tempat dan iringan musik depresif mampu membangun ketegangan demi ketegangan sejak awal cerita. Dialog natural juga tak jarang mengundang senyum. Mayoritas adegan terasa ringan, tanpa harus banyak mengerutkan kening. Pesan cerita berupa persahabatan, kemampuan bertahan, dan pelajaran mendasar bagi pendaki gunung, mampu disajikan dengan mengalir.

Namun sub plot yang ditampilkan tampaknya terlalu asyik dieksplorasi. Sehingga, alur cerita utama tak mampu terjaga dengan baik. Tak ada kemampuan teknis yang menguatkan sebagai pendaki gunung, dan penaklukan terhadap alam liar, menjadi minus tersendiri. Karakter Sita yang terlihat dingin dan tak acuh, tampak kontradiktif dengan sifat pendaki gunung yang umumnya reaktif. Dalam satu adegan bahkan terlihat, Sita terlalu asyik hingga melupakan Tito yang tengah berjuang menghindari jatuh ke lembah. (Endah Asih)***
 

---
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Skenario : Syamsul Hadi 
Pemain : Lukman Sardi, Yama Carlos, Alex Abbad, Richa Novisha
Produksi : Vandea

11/20/08

Room Mate

BICARA tentang film Iran, tak heran jika pikiran langsung tertuju pada tema kekerasan. Minimal, dampak kekerasan akibat intervensi rezim Taliban mampu menyisakan bekas. Sebut saja deretan film seperti "Baran", "Osama", "Children of Heaven", "The Kite Runner", "Kandahar", atau bahkan "Turtles Can Fly". Namun tak demikian halnya dengan film yang disutradarai dan ditulis skenarionya oleh Mehrdad Farid, "Room Mate (Hamkhaneh)" yang menjelma sebagai titisan film bertingkah kontemporer.

Diawali dengan adegan Mahsa (Bita Saharkhiz) yang berjalan di lorong sekolah sambil meyakinkan para dosen, penonton langsung diarahkan untuk menyimpulkan karakter Mahsa. Mahsa adalah seorang perempuan yang pantang menyerah, obsesif, dan cenderung pemaksa. Karena kehilangan tempat tinggal, Mahsa terpaksa mencari tempat tinggal lain untuk tiga bulan ke depan, hingga ia lulus. Dengan uang seadanya dan tak bisa mengharapkan bantuan dari sang Ayah, apa yang bisa Mahsa perbuat?

Mahsa yang tak kehilangan akal, menyambut baik ide teman kerjanya untuk menjaga rumah seorang wanita tua, Fakhri. Sayangnya, Fakhri memberikan satu syarat mutlak, orang yang boleh menjaga rumahnya hanya pasangan yang sudah menikah. Mahsa pun repot mencari seorang lelaki untuk diajak berpura-pura menjadi suaminya, hingga ia bertemu Jamshid (Ali Reza). 

Bersama Jamshid, Mahsa pun menciptakan kebohongan demi kebohongan. Taktik mereka berlangsung mulus, hingga Fakhri berangkat ke luar negeri. Mahsa yang terlanjur merasa bebas dan nyaman di rumah Fakhri, kelabakan ketika mengetahui Fakhri batal bepergian. Hal itu berarti, ia dan Jamshid harus lebih meyakinkan Fakhri, agar Mahsa tidak kehilangan tempat tinggal. Alhasil, mereka benar-benar harus hidup dalam satu atap, dan berpura-pura menjadi suami istri.

Di sinilah cerita mulai berliku-liku. Di negara seperti Iran, dua orang yang tidak menikah namun hidup dalam satu rumah,merupakan permasalahan besar. Bagaimana Mahsa dan Jamshid yang harus berperan sebagai suami istri di hadapan orang lain, dan kekhawatiran terhadap penilaian orang lain, mampu mengulirkan cerita demi cerita. 

Ide cerita "Room Mate" sebenarnya menarik. Bahkan bisa dikatakan sederhana. Karena jika tema "hidup seatap" diangkat oleh film lokal, barangkali akan terlihat biasa dan hambar. Namun ketika setting Iran yang mewakili, bisa berubah menjadi suatu hal yang berbeda. Saking sederhananya, cerita melaju linier. Tak ada sub plot yang ditawarkan. Tak perlu banyak berpikir untuk menikmati film ini. Cukup duduk santai, penonton bisa tersenyum sesekali melihat tingkah polah Mahsa dan Jamshid. 

Sayang, ide cerita tidak diikuti oleh penggarapan yang apik. Sinematografi seadanya, menjadi teman penonton hingga akhir cerita. Yang agak berbeda, adalah bagaimana sequence gambar-gambar diambil. Kameraman tampak mampu mengambil gambar dari sudut yang agak berbeda, tak terpikirkan sebelumnya. Dari situ terlihat, banyak hal yang sedang dieksplorasi. Layaknya film Indie.

Lewat cerita yang dibingkai dalam "Room Mate" pula, penonton diajak untuk melihat kehidupan Teheran masa kini. Banyak pula masalah sosial yang diperlihatkan. Sebut saja masalah seperti peredaran obat terlarang, pekerja seks komersil, hingga moral. Namun, permasalahan itu hanya ditimbulkan dalam porsi yang sangat kecil. Kalaupun ada yang konsisten diperlihatkan, adalah norma-norma yang selama ini dipegang oleh film ala Iran. Hal itu terlihat dari tak ada satu pun adegan sentuhan fisik antara Masha dan Jamshid, atau Masha yang selalu tampil berkerudung. 

Walaupun sama sekali menepikan tragedi kemanusiaan seperti yang biasanya muncul pada film Iran, "Room Mate" tetap memiliki nuansa redup. Warna pastel yang mendominasi, membuat penonton sulit lepas dari stereotype film Iran. Kursi tua, deretan foto masa lalu, bahkan warna yang muncul pada mayoritas adegan film, sama sekali jauh dari nuansa kontemporer yang sebenarnya hendak dibidik.

Dan memang, ide cerita menjadi satu-satunya hal yang mampu menjadi komoditas film ini menjadi berbeda. Namun, jangan tanyakan bagimana Mahsa dan Jamshid menutup kisahnya. Saking terlenanya dengan alur lambat dan detail cerita yang ditampilkan, penonton bahkan tanpa sadar telah sampai pada akhir cerita. Tapi tenang saja, penonton diberi keleluasaan menafsirkan. (Endah Asih)***

Genre: Drama Komedi
Sutradara: Mehrdad Farid
Pemain: Bita Saharkhiz, Ali Reza Ashkan, Maryam Bubani
Durasi: 93 menit

Si Jago Merah

SEGAR dan berisi. Dua kata yang barangkali bisa tergambar dari drama komedi terbaru besutan sutradara muda Iqbal Rais, "Si Jago Merah". Ide manarik yang jarang dilirik, berupa suka duka kehidupan petugas pemadam kebakaran, coba dibidik dalam tampilan heroik yang lumayan menghibur. 
Dimulai dari kesamaan nasib 4 orang mahasiswa yang kebetulan dikumpulkan dalam satu ruangan, kisah "Si Jago Merah" mulai bergulir. Gito Prawito (Desta 'Club Eighties') anak pengusaha asal Sidoarjo, Dede Rifai (Ringgo Agus Rahman) anak pejabat Purwakarta yang korupsi, Kuncoro Prasetyo (Ytonk 'Club Eighties') anak pengusaha jamu dari Semarang, dan Rojak Panggabean (Judika 'Idol') pemuda asal Medan. Mereka terancam drop out dari Universitas Merdeka, jika dalam waktu 3 hari tidak bisa membayar tunggakan uang kuliah 4 semester berturut-turut. 
Dari situ, "Si Jago Merah" mulai memunculkan sub plot. Mereka menjual barang-barang yang mereka miliki agar dapat melunasi tunggakan. Alhasil, mereka harus mencari cara agar bisa bertahan hidup. Satu per satu cara dijalani. Mulai dari pindah bersama ke rumah kontrakan yang dekat dengan kampus supaya bisa lebih mengirit pengeluaran, hingga mencari pekerjaan sampingan. Awalnya, mereka menjalani pekerjaan masing-masing. Namun, karena kelelahan usai bekerja, mereka memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan lain.
Dengan pertimbangan profesi petugas pemadam kebakaran yang tidak memiliki banyak tugas sehingga punya banyak waktu santai, mereka memutuskan mencoba. Jalan itu mulai terbuka setelah Rojak berhasil membetulkan mesin sebuah mobil pemadam kebakaran yang bak tertidur panjang. Mobil keluaran 1975, bermesin 4.000 cc, bernama Si Jago Merah. Dengan tugas sebagai pemadam cadangan, mereka mulai menelusuri sisi unik yang ditawarkan dari profesi ini. Bersama Si Jago Merah, tentunya.
Orisinalitas ide yang makin sulit terjamah oleh film lokal kebanyakan, mampu ditemui dalam film yang penggarapannya dikerjakan oleh komposisi kru yang tak jauh berbeda dengan kru "The Tarix Jabrix" ini. Bahkan bisa dibilang, ide untuk menampilkan pemadam kebakaran sebagai bingkai utama, sangat menarik. Pemilihan ide tersebut bukan tanpa sebab, karena filosofi yang dikandung di balik profesi pemadam kebarakan. Sebuah profesi yang -sebenarnya- lebih diharapkan tidak bekerja. Namun ketika api berkobar, profesi ini menjadi satu-satunya ujung tombak. 
Tak heran, jika kemudian yang muncul adalah sikap patriotisme. Sampai di sini, "Si Jago Merah" cukup asyik dinikmati. Tanpa perlu mengerutkan dahi, aksi empat mahasiswa yang memiliki karakter persahabatan ogah-ogahan tersebut, bisa disaksikan dengan santai. Humor yang ditawarkan segar, ringan dan lepas. Terlebih, empat karakter utama sengaja dipilih untuk mewakili latar belakang yang berbeda. Untuk penonton Jawa Barat, bisa jadi merasakan sisi kedekatan dengan sosok Dede. Tak terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari.
Dari segi penokohan, empat karakter utama terbangun dengan mulus. Rojak yang memiliki emosi mudah tersulut, Dede yang playboy, Kuncoro yang pasrah dan Gito yang naif. Bahkan, sub plot yang berusaha ditampilkan, cukup mampu mendukung alur utama. Sebut saja Kuncoro yang memiliki fobia terhadap ruang tertutup (Claustrophobia), atau Dede yang dikejar hutang oleh mantan pacarnya, Nola (Poppy Sovia). 
Namun dengan adanya dramatisasi di sana sini, jangan berharap pada porsi drama yang besar. Karena sejak awal, sutradara menjaga genre film yang bernuansa komedi. Untungnya, umpan humor yang dilempar kepada penonton, seringkali disambut tawa renyah. Riset berupa data statistik seputar dinamika pemadam kebakaran, juga menjadi suguhan satire. Kondisi ideal yang seharusnya dimiliki sebuah daerah, hanya mampu dipenuhi setengahnya. 
Sedangkan dari segi acting, tak ada yang teramat spesial. Keempat pemeran utama seolah tak bereksplorasi acting secara maksimal. Tak salah, tentu saja. Karena karakter yang ditawarkan juga terlihat tak jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Positifnya, mereka seolah berperan secara natural. Scene dimana Judika (Indonesian Idol) menyanyikan lagu miliknya secara santai, mampu menimbulkan reaksi penonton. Terlebih, ketika Desta menyanyikan lagu "Dari Hati", disambut gelak tawa. Dari deretan pemain, tak sedikit cameo yang ditampilkan. Sebut saja Francine Roosenda, The Changcuters, Mpok Nori, hingga wakil Bupati Tangerang Rano Karno, lumayan menghibur. 
(Endah Asih)***

Genre: Drama Komedi
Durasi: 90 menit
Produser: Chand Parwez, Hanung Bramantyo
Sutradara: Iqbal Rais
Pemain: Ringgo Agus Rahman, Desta Club 80's, Ytonk Club 80's, Judika, Poppy Sovia, Tika Putri, Indra Birowo, Sarah Sechan